Kamis, 19 Juni 2008

Pelajaran dari Mas Glen

Rabu 18 Juni 2008
Aku pikir aku bakal rugi besar hari itu. Bagaimana tidak? Membayar tiket seharga 150 ribu, datang sendirian seperti orang hilang sementara orang-orang lain menggandeng "someone specialnya" masing-masing, konser yang molor satu jam lebih, capek mengantri berdiri, dan yang paling menyebalkan ketika sudah duduk di dalam ternyata yang duduk di sebelahku adalah NENEK-NENEK!!!!!!! AAAAAAA!!!!!......... This day is suck!!!!
Ternyata tidak. it,s magic..... Ketika konser Intimated with Glen mulai, aku lupa semua itu. Aransemen musiknya Gila!!! it's my favorite man..... It's Jazz. Walaupun banyak campuran pop, metro-pop, soul dan lain-lain, but totally it's Jazz. The Music Touch My Soul.
Pertengahan konser layar padam, dan hanya ada sebuah tulisan di layar besar CINTA SEJATI HANYA DATANG SATU KALI. Aku langsung terpana. Glen seolah menyindirku. Aku kena. Aku yang dulu kerap menyia-nyiakan perasaan dengan bermain cinta, kini cuma bisa menyesali semuanya. Kini aku sendiri. Tidak ada yang mau lagi denganku. Mataku terpana memandang tulisan yang bagaikan bercahaya dalam kegelapan itu. Terbayang seraut wajah di masa yang lalu. Mungkin hanya dia yang tahu, kenapa saat ini aku masih sendiri. Entah dimana dirinya sekarang. Dua lagu berikutnya langsung membuatku makin terpojok.

Kini harus aku lewati, sepi hariku
Tanpa dirimu lagi.....
Biarkan kini kusendiri, melawan waktu
Tuk melupakanmu
Walau, pedih hati. Namun aku bertahan........

Aku bernyanyi mengikuti lagu itu sambil tertunduk. Tubuhku lemas. Seandainya wanita mungkin aku sudah menangis seperti orang cengeng.


Tuhan bila masih ku diberi kesempatan
Izinkan aku untuk mencintainya
Namun bila waktuku telah habis dengannya
Biar cinta hidup sekali ini saja......

Tak sanggup bila harus jujur, hidup tanpa hembusan nafasnya.........


Mungkin ini pelajaran buatku, jangan menyia-nyiakan hati. Aku memang sudah merasa. Seandainya besok, ketika waktu itu tiba. Aku mendapatkan seseorang, mungkin orang itu bukan cinta sejatiku. Karena aku juga percaya, CINTA SEJATI HANYA DATANG SATU KALI.......


Buat Mas Glen, Terima kasih untuk musik, pelajaran dan sindirannya

Minggu, 15 Juni 2008

Mereka Memang ada

Waktu itu sebetulnya bukan musim hujan, tapi entah kenapa hari itu hujan turun deras. Cuaca mendung, dingin dan lembab. Membuat kampus jadi tampak suram. Bangunan tua itu berdiri menjulang, memutar. Bentuknya seperti gedung bundar kejaksaan agung. Bangunannya melingkar dan ada taman kecil di tengahnya. Sempat ada rumor kalau kampus ini sebenarnya dulu bekas rumah sakit. Aura rumah sakit kadang memang terasa di waktu-waktu tertentu. Terutama waktu malam hari. Ini yang membuat mahasiswanya jadi lebih suka milih cepat-cepat pulang kalau kuliah terakhir jam 7 malam selesai.
Lorong-lorong kampus hari itu begitu sepi. Tidak ada keramaian seperti biasanya. Hanya satu dua mahasiswa lalu-lalang sendirian. Mereka menyusuri lorong-lorong kampus yang bisu. Tubuh mereka lalu seperti menghilang di balik pintu-pintu ruangan. Pagi itu hanya tiga ruangan yang dipakai kuliah. Sisanya kosong. Aku melintasi ruang-ruang kosong itu. Rasanya dari dalam ruangan itu ada mata yang sedang mengawasiku dari tadi. Langkah kupercepat. Udara dingin yang menyebalkan selalu membuatku tidak kuat menahan pipis. Dari tadi rasa kebelet itu sudah coba aku tahan, tapi kandung kemihku malah terasa sakit. Memang kurang baik terlalu lama menahan kencing.
Tinggal beberapa langkah lagi dari WC, tiba-tiba seperti ada udara dingin yang menabrakku dari belakang. Membuatku berhenti mendadak. Sejenak aku menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Tanpa sadar bulu kudukku berdiri. Aku mengusap tengkuk dan bergidik. Kuanggap angin itu bukan apa-apa. Langkah kuteruskan. Tinggal beberapa langkah lagi dari ruang WC. Ruang WC itu terbagi dua, dengan sekat tembok. Kanan WC pria dan kiri untuk wanita. Di sisi tembok itu ada sebuah wastafel. Mataku menangkap sesosok perempuan berambut panjang terurai sedang menyisir rambutnya di depan wastafel. Ada sebuah bisikan entah dari mana. Seakan-akan mengingatkan diriku, “Itu bukan orang....”. Tubuhku terpaku melihat pemandangan selanjutnya. Perempuan berbaju putih panjang itu memegang lehernya dan melepas kepalanya sendiri. Kepalanya yang lepas dari leher itu kini dipegangnya dengan tangan kiri, sementar tangan sebelah kanan yang memegang sisir terus menyisir kepalanya itu. Aku melihat tubuh tanpa kepala menyisir kepala yang dipegangnya sendiri. Perasaan tercengang itu seketika berubah menjadi ketakutan dan kengerian. Spontan diriku lari pontang-panting menjauh. Sempat di terdengar suara lirih tawa cekikikan dari WC dibelakangku. Mulai saat itu lebih baik jangan pernah ke WC kampus sendirian, karena bukan hanya anda yang butuh teman. Mereka juga ingin ditemani.

PS :
Rasakan bulu kuduk anda yang berdiri ketika membaca cerita ini. Siapa tahu mereka ada di belakang anda saat ini.......

Kamis, 12 Juni 2008

Aku dan Mrongoswati

Kalau anda hobi membaca blog, aku sarankan untuk mencoba sejenak melongok blog mrongoswati.com. Blog mrongoswati adalah salah satu blog yang tidak saja gaul dan enak dibaca bagi siapa saja, tetapi juga unik, bebas, kreatif dan ekspresif. Penulisnya sendiripun juga tidak kalah ajaib. Orangnya cuek, bahkan punya kesan bahwa urat malunya sudah putus sejak lama. Dan itu semua bukan sesuatu yang dibuat-buat. Artinya jujur apa adanya. Jujur juga termasuk berani mencela diri sendiri dan tampil apa adanya. Mungkin itu yang membuat Mrongoswati bisa lugas dan lancar menulis dengan bahasanya. Bahasa yang menunjukkan gayanya. Gaya yang menunjukkan perpaduan antara orang tidak punya malu sekaligus polos. Unik bukan? Di saat orang lain bingung memikirkan gaya apa yang ingin ditampilkan, sibuk berdandan dan memoles diri, memakai topeng sehingga tampak lebih anggun dan elegan di depan pacar, calon mertua atau pimpinan. Mrongoswati malah tampil apa adanya. Dirinya tidak sibuk dengan gaya, apa lagi memikirkan penampilan dan cara berbicara atau semacamnya. Dirinya tidak takut untuk di cap tidak intelek, kurang berbobot (anaknya mah emang kurus sih.....), atau menimbulkan aib. Dalam suatu kesempatan dia pernah membacakan sumpah palapa versi Mrongoswati, “Apa yang pingin aku tulis dan aku omongin, ya itu yang aku tulis”. Tidak nampak kesan bahwa itu sebuah kalimat yang diucapkan untuk mencari sensasi, seperti kebanyakan politikus atau artis ibukota. Jujur saya iri dengan Mrongoswati. Saya tidak bisa menulis seperti itu. Gaya yang lugas, lancar dan apa adanya. Menciptakan istilah-istilah yang menarik. Mengemas yang biasa menjadi begitu enak untuk dinikmati. Itulah kelebihan dan bakat Mrongoswati. Saya perlu banyak belajar dari dia. ViVa Mrongoswati........ Mrongoswati adalah wanita dan Kuncup Jari adalah Pria (Yang satu ini jelas ga ada hubungannya. Out of the topic gitu loh.......)

Rabu, 11 Juni 2008

Tears of the sky (The Reporter)

Aku berhenti menulis artkel itu. Rasanya berat menulisnya. Inilah beban moral seorang wartawan. Di satu sisi aku hanya ingin mengungkap kebenaran tetapi di satu sisi memang kadang tidak setiap orang siap untuk menerima kebenaran itu. Aku memandang meja kerjaku. Semua data-data tertulis yang sudah kukumpulkan sejak beberapa hari yang lalu berserakan di atasnya. Data-data itu hanya aka menjadi sampah kalau aku tidak meneruskan artikel itu dan mengirimkannya ke meja redaksi. Berita ini pasti heboh. Aku bayangkan artikel ini menjadi headline di surat kabarku besok Pernikahan Kembali Da'i idola, Sebuah Konspirasi Keagamaan. Kupandang jam dinding di sudut ruangan, Jam 12 malam lebih 45 menit. Sebentar lagi jam 1. Bisa dipastikan sampai besok pasti aku tidak tidur. Aku lihat jadwalku untuk besok. Betapa padatnya.
Jam 07.15, Ada janji dengan Ibu dari Muhammad Subail. Salah satu korban Sodomi dan Mutilasi
Jam 09.00, Aku harus menyerahkan artikel tentang yang aku tulis ini
Jam 10.00, Ke istana negara. Aku harus meliput demo yang dilakukan oleh orang-oang FPI
Jam 10.45, Aku ada janji dengan Dokter Forensik di RS Dr. Sutomo.
Jam 11.12, Membeli tiket untuk berangkat kembali ke Roma

Tears of the sky (The Woman)

Sajadah itu bukan lambang iman yang kupercayai. Hari-hari ini aku melakukan ibadah bukan yang sesuai dengan yang kupercayai. Semua ini hanya perintah. Ironisnya ternyata ahkir-ahkir ini malah menemukan kedamaian hatiku dari sajadah itu. Tempat aku menangis meluapkan segala perasaanku dan keluh kesahku. Laki-laki itu pasti sekarang sedang memimpin pengajian di mesjid Al-Khasanah bersama-sama dengan istri pertamanya. Aku yakin pengajian hanya sedikit yang datang. Pamor dan kepopuleran laki-laki itu memang sudah merosot sejak sebulan yang lalu. Terhitung semenjak dirinya mengambilku sebagai istri keduanya. Semenjak itu kehidupan laki-laki itu yang dikenal luas sebagai seorang Da'i itu mulai kacau. Tujuanku memang diharapkan untuk menimbulkan kekacauan, misi yang kulaksanakan berhasil. Menjadi istrinya adalah keberhasilan misi yang kuemban. Setahun yang lalu aku bersama seorang perantara berhasil masuk ke dalam lingkungan Da'i itu. Aku mendapatkan kepercayaan sebagai sekretaris pribadi Da'i itu. Mendekati Da'i itu adalah bagian dari tugasku. Da.i itu memang sangat terkenal, tak jarang orang menjadikan dirinya idola, bahkan panutan hidup. Kehidupan laki-laki itu bagaikan suatu kehidupan sempurna yang banyak dimimpikan orang. Materi berlimpah dan usaha yang sukses membangun kekaisaran bisnis dan jaringan organisasi keagamaan, keluarga yang sakinah mawadah warohmah, istri yang cantik dan berakhlak mulia, kepupuleran pun dimiliknya di kalangan masyarakat. Tidak kurang suatu apapun. Laki-laki itu memang tampak begitu sempurna, namun dirinya tetap laki-laki. Ada yang bilang kelemahan laki-laki adalah salah satu dari antara harta , wanita dan tahta. Aku sendiri tidak tahu apakah hal ini berlaku bagi setiap pria? Aku juga tidak tahu apakah yang namanya kelemahan itu memang seharusnya di akui atau untuk diintrospeksi kemudian dikurangi dan dihilangkan sedikit demi sedikit?

Tears of the sky (The Beginning)

Doaku kepada Tuhan. Salib itu memandang dingin. Aku hanya memandangnya dengan iman. Percaya bahwa yang kulakukan ini benar. Entah apa iman itu? Melakukan yang kupercaya benar atau melakukan yang kupercaya sebagai kebenaran? Melakukan perintahNya atau perintah yang kupercaya sebagai perintah dariNya? Hati yang terdogma ini tak ubahnya seorang bagai seorang sales yang terus mengoceh bahwa apa yang kulakukan ini adalah benar. Namun hati kecilku terus meminta maaf kepadaNya. Inikah dosa yang sebenarnya? Selama ini orang memandangku sebagai imam suci. Aku mengucapkan kaul kemurnian dan kesucian ketika ditahbiskan. Bersumpah untuk hidup suci dan sejauh mungkin dari dosa. Sayangnya setelah itu, aku malah semakin tidak tahu kapan tindakanku berdosa atau tidak. Setahun yang lalu surat perintah itu datang langsung dari pusat. Sepertinya pusat sudah melihat latar belakang dan sejarahku. Seorang pemuda yang mendapatkan pencerahan dan berpindah kepercayaan dari seorang muslim memeluk iman kristiani. Lima tahun kemudian setelah pendidikan di seminari ditahbiskan menjadi imam. Orang-orang memanggilku Romo Muhammad, sebuah paradoks yang sangat kontras. Hal yang kupercaya sebagai iman itulah yang membimbingku pada nasib ini. Berangkat pergi meninggalkan umat-umatku. Aku tahu aku akan belajar. Aku memang belajar di sana, namun yang kupelajari di sana adalah imanku yang dahulu. Iman yang dibawakan nabi yang memiliki nama yang sama denganku. Mulai dari konsep KeTuhanan, Tauhid, Syariah, hingga Sufi. Aku belajar tentang Sholat, anehnya lengkap dengan prakteknya. Aku belajar tentang Al-Qur'an, semuanya 32 Jus. Aku belajar tentang dunia arab, latar belakang sejarah, etos budaya lengkap dengan pengetahuan tentang tata cara naik haji. Aku tidak pernah mengetahui untuk apa aku melakukannya, aku hanya berpikir, oh barangkali setelah ini aku juga akan belajar tentang Budha, Hindu dan agama-agama yang lainnya juga sehingga wawasan yang ada padaku bertambah, tetapi ternyata tidak. Semua itu dipersiapkan secara khusus untuk sebuah misi. Setelah pengetahuanku tentang islam dianggap cukup, dogma Kristiani kembali ditanamkan dengan ekstrem kepadaku. Sehingga yang ada di kepalaku adalah doktrin yang layaknya seorang tentara. Aku yang sudah dipersiapkan secara khusus diperintahkan kembali ke negaraku, mendampingi seorang wanita. Wanita untuk sebuah misi khusus dengan kode 4D4M N ElVA.

Next Story: Lanjutan Dongeng Nglindur

Dayang Sumbi mendatangi rumah sahabatnya Dewi Sri. Sudah lebih dari setengah jam yang lalu dia curhat pada Sang Dewi.
“Dewi.... tolongin dong. Masak kamu tega sih membiarkan sahabatmu ini hidup sendirian dalam kesunyian”.
“Lha terus nyong musti bagaimana Sum? Nyong kan sudah bilang sama sampeyan. Jangan gampang esmosi, eh.... emosi. Sangkuriang berbuat seperti itu kan gara-gara dheweke sayang sama sampeyan, dia pingin berbakti pada ibunya. Ini kok tanpa tedeng aling-aling langsung main getok kepala pakai centong nasi. Centongnya dari batu lagi. Masih untung sampeyan ndak dilaporkan Sangkuriang atas tuduhan pelanggaran undang-undang perlindungan anak”. Dayang Sumbi cuma terisak-isak sambil menunduk, meremas-remas ujung selendangnya sampai kusut.
“Habis, Sangkuriang keterlaluan. Tumang itu biar kakinya empat, begitu-begitu kan dia suamiku. Notabene Bapaknya juga, cuma beda jenis aja.”.
“Nyong kan juga sudah pernah bilang sama sampeyan. Mbok orientasi seksual itu dibenerin. Jangan suka aneh-aneh. Ini kok sukanya nyleneh berhubungan sama hewan. Ndak lazim. Laki-laki kan banyak? Rasain sendiri kalau begini kejadiannya”. Dayang Sumbi malah senyum-senyum sambil agak malu-malu.
“Habis, menurutku yang enak begitu”. Dewi Sri cuma geleng-geleng kayak lagunya Project Pop.
“Sampeyan ini kan cantik. Sexy dan aduhai. Mulai sekarang coba inyaf, yang normal-norma aja”.
“Iya tapi sama siapa? Dewi tahu kan kalau aku ini orangnya pemalu. Mangkanya tolong carikan dong. Kenalin kek. Jodohin kek. Sekarang kan jamannnya jodoh-jodohan kayak acara reality show anak muda di TV itu”. Dewi Sri berpikir sejenak.
“Nyong punya kenalan, sepertinya cocok buat sampeyan. Dia juga baru patah hati. Asalnya dari Klaten Jawa Tengah. Nyong bisa bantu sampeyan buat janjian terus kenalan sama dia. Kalau sudah kenalan selanjutnya saya serahkan semuanya sama sampeyan”. Dayang Sumbi mengangguk
“Oke, kira-kira kapan kami bisa ketemu?”. Dayang Sumbi sepertinya tidak sabar atau penasaran. Dewi Sri lalu melihat agendanya.
“Mungkin minggu depan. Selama seminggu sampeyan bisa siapkan segala sesuatunya. Inget, jangan sampai malu-maluin”. Dayang Sumbi mengangguk senang, wajahnya langsung sumringah.
“Terima kasih Dewi. Oh ya, ngomong-ngomong namanya itu siapa?”.
“Bandung Bondowoso”. Dewi Sri menyebutkan sebuah nama.

Third Story : Lanjutan Dongeng Nglindur

Malin Kundang melanjutkan perjalanannya. Entah sudah berapa jauh dirinya berjalan. Meninggalkan Solok Kampungnya di Sumatra Barat sana. Sepertinya dia agak sedikit nyasar. Berulangkali dirinya membuka peta Indonesia yang dibelinya di Pelabuhan Bakaheuni. Rupanya dia ditipu. Memang peta itu harganya murah, tapi rupanya peta itu peta buta. Kasian deh lo, mau ngirit malah rugi. Malin memutuskan istirahat sejenak. Sekelilingnya memang hutan lebat, pohonnya tinggi-tinggi. Malin berdoa, mudah-mudahan dirinya bertemu Tarzan. Kan lumayan kalau ketemu. Bisa nanya-nanya jalan atau arah. Syukur-syukur bisa nunjukin hotel atau penginapan terdekat. Padahal Tarzan lagi show Kethoprak Humor di TVRI. Malin mencari tanah yang agak lapang buat mendirikan tenda. Tiba-tiba dirinya dikagetkan oleh sesosok tubuh yang teronggok kaku di atas tanah. Astaqfirullah, ada mayat. Malin Kundang langsung gemetar. Sial, mau istirahat malah ketemu mayat. Malin Kundang memperhatikan tubuh yang tergeletak menelungkup itu. Sepertinya mayat sesosok laki-laki. Mungkin habis dirampok. Berarti di sekitar sini ada rampok. Hiiii....., Malin Kundang langsung cemas. Tubuh itu sepertinya masih segar. Belum ada tanda-tanda membusuk. Mungkin mayat masih baru. Malin Kundang yang penasaran mengambil sebatang kayu, lalu coba menusuk-nusukkan batang kayu itu ke tubuh yang tergeletak itu.
“Heh.... “. Baru beberapa kali tusukan tubuh itu bersuara.
“Onde mandeh...”, Malin Kundang terkejut dan melompat mundur.
“Kakak masih hidup?”. Tanya Malin Kundang.
“Masih bego....”, tubuh itu membentak galak.
“Kenapa kakak bisa sampai begini?”.
“Tadinya sih pingsan, tapi begitu sadar rasanya mau bangun males. Akhirnya langsung lanjut tidur siang aja sekalian”. Malin Kundang cuma garuk-garuk kepala mendengarnya.
Malin Kundang lalu memutuskan untuk bermalam di situ. Lumayan jadi ada teman untuk bermalam. Saat Malin Kundang mengeluarkan rendang yang sengaja dibawanya untuk bekal, pemuda yang tergeletak menelungkup itu langsung bangun.
“Weh, ada makanan. Boleh minta sedikit?”, tanpa malu-malu orang itu meminta.
Malin dengan senang hati memberikan bekalnya. Kebetulan masih ada nasi dan enam potong rendang. Untuk lalapannya tinggal memetik daun-daun yang ada di sekitar situ. Baru menggigit sepotong pemuda itu langsung megap-megap.
“Air!!! ....air!!! .....”, Orang itu berteriak bagaikan kesurupan,
Malin cepat-cepat mengeluarkan botol air dari tas kempingnya, langsung disambar oleh orang itu.
“Buset ! Masakan apa ini? Pedasnya sampai bikin mau hampir mati”. Orang itu mendelik ke arah Malin Kundang.
“Ini rendang Kakak. Masakan daerah saya, di tempat saya yang seperti begini biasa”.
“Orang-orang daerah kamu lidahnya dari batu ya? Mana ada orang tahan makanan kayak begini? Ini baru dimasak saja, orang nyium baunya saja sudah mencret”.
Malin Kundang cuma nyengir.
“Itu memang ciri khasnya Kakak. Kalau memang tidak doyan juga tidak apa-apa”. Pemuda itu malah memungut daging rendang yang tadi sempat jatuh di tanah.
“Apa boleh buat, laper juga. Belum 5 menit...”. Malin Kundang tersenyum melihatnya. Mereka berdua lalu makan dengan lahap. Sehabis makan keringat deras membanjir membasahi tubuh mereka berdua.
“Hoik... Wah ternyata lama-lama enak juga”. Pemuda itu berkomentar, roman mukanya menunjukkan rasa puas.
“Itulah sensasinya Kakak. Kata Mamak di kampung, makan pedas itu simbol kehidupan. Berjuang keras di awal dan merasa puas di akhir”. Malin menjawab ramah.
“Aku baru dengar peribahasa itu. Maklum, waktu sekolah dulu nilai Bahasa Indonesiaku kurang. Rupanya ada juga peribahasa begitu ”.
“Ah kakak ini. Peribahasa itu juga cuma karangan Mamak aku saja kok”. Malin Kundang tertawa.
“Oh ya ngomong-ngomong nama Kakak siapa”. Pemuda itu malah bingung ditanya begitu.
“Aneh, kok aku nggak inget ya? Namaku siapa?”. Malin Kundang cuma terbengong mendengarnya. Pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya.
“Aduh!... “ Pemuda itu memekik pelan. Rupanya garukannya mengenai sebuah luka yang masih mengeluarkan darah di kepalanya.
“Kakak luka?”. Tanya Malin. Pemuda itu mengangguk, wajahnya masih heran. Sepertinya juga tidak tahu asal-usul luka itu. Malin mengeluarkan peralatan P3K dari tas kempingnya. Rupanya bawaan Malin untuk merantau benar-benar komplit. Setelah luka dibersihkan dan diobati, pemuda itu malah nampak semangkin lama semangkin bingung.
“Coba diingat-ingat Kak, masak tidak ingat sama sekali?”. Pemuda itu malah menggeleng.
“Oya, Kakak pasti punya KTP. Coba dilihat saja di KTP”. Malin memberi saran. Pemuda itu langsung menepuk jidatnya.
“Oh iya, kenapa sampai tak kepikiran”. Pemuda itu mengambil dompet dari saku belakang celananya. Foto di KTP itu memang foto dirinya dengan tampang yang sedikit dibuat-buat. Identitasnya tertera di sana.
Nama : Sangkuriang bin Tumang
Alamat : Jalan Sunda No 9, Lembang, Bandung, Jawa Barat
Kewarganegaraan : Republik Mimpi
Status : Belum menikah dan sudah dua tahun Jomblo
“Oh iya, aku inget... Namaku Sangkuriang “, pemuda itu langsung girang.
“Ooooo.... Sangkuriang. Panggilannya apa Kakak?”.
“Panggil Sangku saja. Kayaknya keren deh. Oh ya nama kamu siapa anak muda?”. Sangkuriang menjulurkan tangannya.
“Nama saya Malin Kundang, panggil saja Malin. Senang berkenalan dengan Kakak”.

Second Story : Dongeng Sebelum Nglindur

Malin Kundang mengendap-ngendap di antara pepohonan hutan. Langkahnya mendekat ke arah tempat suara riuh rendah gadis-gadis itu berasal. Hari itu cuaca cerah dan sedikit berawan, bukan perawan. Tumbennya tidak satupun hewan yang nampak di hutan itu, apalagi anggota dewan. Lagian ngapain anggota dewan di tengah hutan? Di ruang sidang aja jarang hadir, apalagi di tengah hutan? Malin Kundang memanjat pohon yang dipilihnya. Yang menurutnya agak representatif untuk mengintip ke tengah telaga. Ternyata benar, tujuh bidadari sedang mandi dan bermain air di tengah telaga. Bodynya jangan ditanya lagi bagaimana, semlohai nan aduhai. Membuat jakun Malin Kundang naik turun. Alhamdulilah, ujarnya dalam hati. Malin Kundang coba memperbaiki posisinya. Sayangnya kakinya malah menginjak kotoran tupai yang kebetulan menempel di batang pohon. Malin Kundang langsung terpleset. Terjungkal dengan gaya akrobatik yang buruk. Seperti kata pepatah sudah jatuh tertimpa batang pohon, terpleset kotoran tupai pula. Suara krosak dan gedebum membuat tujuh bidadari terkejut. Mereka buru-buru mengambil selendang untuk menutupi bagian yang perlu ditutupi. Bidadari selendang ungu langsung berteriak ke arah Malin Kundang.
“Hei Malin Kudang, sedang apa di situ? Harusnya kan Jaka Tarub yang ada di situ?”. Malin Kundang dengan agak malu-malu keluar menunjukkan batang hidung dan batang pohon yang menimpanya tadi.
“Maaf Kakak. Biasa. Salah setting”. Setelah meminta maaf Malin Kundang kemudian berlalu dari situ. Agak tengsin juga dia. Di tengah jalan Malin Kundang malah bertemu Jaka Tarub.
“Hei Bung, cewek-ceweknya masih disana?” Tanpa basa-basi Bung Jaka langsung menyongsongnya dengan pertanyaan.
“Masih kakak... “, Jawab Malin.
“Tadi ngintipnya dari sebelah mana?”. Bung Jaka sepertinya sudah tidak sabar.
“Dari sebelah sana Kakak, aman kok... “. Malin menunjuk tempat dia mengintip tadi.
“Waseeek. Thanks Bung.... “.
“Eh, tapi jangan ngintip di atas pohon Kakak”. Malin Kundang memberi saran.
“Lho, memang kenapa Bung?”. Jaka Tarub malah heran.
“Banyak kotoran tupai”, Jawab Malin pendek.
Jaka Tarub cuma bengong.

First Story : Wisuda


WISUDA

Setengah jam menunggu. Rombongan wisuda ahkirnya keluar dari dalam gedung. Kucari dia diantara kerumunan oang-orang berbaju toga. Ada sedikit perasaan gugup saat melihatnya keluar bersama kedua orang tuanya. Kuyakinkan diriku sekali lagi. Hanya ini kesempatanku untuk bisa menyampaikan apa yang ingin kuutarakan. Mungkin besok tidak akan ada moment seperti ini lagi. Kurapikan jasku. Kupencet tombol handphone, kucoba hubungi telepon seluluernya. Berharap dia mengaktifkannya begitu keluar dari gedung. Dering itu aku yakin sebenarnya hanya sebentar, namun rasanya begitu lama terngiang dalam benakku. Suaranya terdengar. Aku melihatnya, namun dirinya tidak melihatku.
“Kamu dimana? Katanya mau dateng?”, Suaranya begitu khas. Cempreng, tanpa kesan lembut layaknya suara wanita
“Aku udah dateng, aku di depan dekat orang jual bunga. Aku liat kamu kok”.
“Ya udah ke sini gih,”.Aku sudah hapal kebiasaannya, manjanya yang kadang membuatku gemas. Meskipun aku tahu dia juga telah melihatku, namun dia tetap meminta aku yang datang menghampirinya. Kuhampiri dia. Sejenak aku juga melihat gerakannya meminta ijin sebentar kepada bapak dan ibunya. Kami berdua bertemu. Selama ini hubunganku dengannya sebenarnya tidak bisa dipastikan. Aku mengenalnya sejak lama. Dirinya pun demikian. Bahkan aku sudah lupa bagaimana awalnya kami bertemu. Aku tidak begitu dekat dengannya. Seperti teman biasa saja. Akrab hanya di tempat kami bersekolah. Mulai SMP, SMA, sampai kuliah entah kenapa dia selalu ada di setiap bagian hidupku. Kami tidak pernah berjanji untuk bersekolah di tempat yang sama. Semua mengalir begitu saja. Dirinya selalu ada. Tidak sengaja pula kami memilih kuliah di universitas yang sama dan pada jurusan yang sama pula. Suatu kali pernah tanpa sengaja berduaan. Aku cuma ingat hari itu hari Khamis. Pada hari sebelum aku ujian pendadaran. Dirinya memanggil namaku, Aku bisa lihat gerakan bibirnya mengucapkan AKU SUKA KAMU. Aku cuma terdiam, mengeryitkan kening. Sesaat kemudian tidak menggubrisnya. Kupikir hanya bercanda. Apalagi dalam hatiku saat itu ada wanita lain. Setelah hari itu tidak ada lagi yang kupikirkan dari dia. Aku pacaran dengan adik kelasku. Dia pun mengetahuinya. Hubungan kami tetap berjalan biasa layaknya teman seperti sebelumnya. Aku lulus, dia masih melanjutkan kuliahnya. Akhirnya selama beberapa saat hubunganku dengannya seperti ada jeda. Aku tidak memikirkannya, dan aku rasa dirinya juga demikian. Waktu berlalu, ahkirnya setelah 6 bulan menunggu aku di terima kerja. Pacarku memutuskan hubungan secara sepihak. Aku tahu pacarku menemukan pria yang lebih baik dari aku. Kutelan pil pahit itu bulat-bulat. Suatu hari ada teman yang ingin kuhubungi, sayangnya nomor teleponnya berubah. Kuhubungi dia untuk menanyakan nomor telepon temanku yang berubah itu. Setelah itu aku malah jadi sering menghubunginya. Malah beberapa kali kami sempat bertemu. Dirinya kembali ada dalam satu lagi bagian kehidupanku, dirinya kini ada bukan hanya ketika aku masih bersekolah. Dirinya kini juga ada ketika aku sudah berkerja dan punya penghasilan sendiri. Perlahan-lahan kehadirannya mulai mempunya makna di hatiku. Justru pada saat terakhir dia hendak menyelesaikan masa kuliahnya dan mendapatkan beasiswa untuk woman study di australia. Hari itu hari wisudanya. Besok dia sudah harus berangkat ke australia. Ada sedikit kecewa menggurat dihatiku, saat sadar pada saat itu untuk pertama kalinya aku mulai menyukai dirinya dan ingin mencintainya. Terlalu naif bila seketika pada saat itu aku menyatakan perasaan ku padanya. Aku yakin dirinya telah mengubur perasaannya sendiri dalam-dalam kepada diriku, karena pernah merasa kutolak dan tak kuperdulikan. Pada hari wisudanya itu kubawakan setangkai bunga untuk dirinya. Sejak aku diputuskan pacarku, selama itu aku seperti termakan karma. Sempat ada hasrat hatiku ingin menjalin hubungan dengannya kemarin , namun karena sibuknya perkerjaanku hasrat itu teralihkan. Entah kenapa dirinya juga agak sulit dihubungi, dan sedikit cuek padaku. Kini dirinya berdiri dihadapanku, memakai toga dengan make up yang tebal, rambutnya disanggul. Tubuhnya yang pendek tenggelam dalam jubah toga yang dikenakannya.
“Makasih ya udah nyempetin dateng, kemaren katanya ditelepon mau sekalian ngomongin sesuatu. Mau ngomongin apa?”.
Dia memang orangnya kurang bisa basa-basi. Pertanyaan langsungnya malah membuatku tidak bisa mengatakan apa-apa. Aku hanya mengangsurkan bunga mawar yang sudah semenjak tadi kupegang.
“Selamat ya, akhirnya lulus”. Aku berusaha tersenyum.
“Makasih....”. Dirinya sesaat tertegun. Bunga mawar itu diterimanya sambil terus memandangiku.
“Aku yang seharusnya terima kasih Ca, kamu selama ini selalu ada di setiap bagian hidupku. Mulai dari SMP, SMA, Kuliah, sampai aku kerja. Aku baru sadar kalo ternyata kamu yang selalu hadir mulai dari aku belum jadi apa-apa sampai skarang. Ini bunga bisa jadi tanda apa aja, bisa buat tanda terima kasihku atau buat tanda perpisahan, atau sebagai tanda persaaanku sama kamu, setelah ini sekali lagi harus aku serahkan semuanya sama takdir. Kalau memang kamu hadir sekali lagi, mungkin sekalian aja kamu jadi pendampngku. Itu juga kalo kamu mau”.
Belalak matanya seakan tak percaya, kemudian kulihat rona itu. Ada rona semu merah di pipinya. Kami terdiam. Aku tidak perduli apa yang mungkin bakal dikatakannya. Aku memeluk kepalanya kemudian mencium keningnya. Hal yang belum pernah kulakukan sebelumnya terhadapnya. Jawaban tak kunjung terdengar dari dirinya. Aku hanya merasakan tangannya melingkar memeluk pinggangku. Semakin kudekap kepalanya di dadaku, tidak perduli topi toganya jatuh ke samping. Entah kenapa aku tidak ingin melepasnya, seandainya aku bisa. Entah pada saat itu hatiku telah aku genggam atau malah dirinya yang telah menggengam hatiku.