Minggu, 27 Juli 2008

The Profiler (The Truth)

Semua peserta Makrab diperintahkan agar tidak melanjutkan tidur malam itu. Keadaan masih agak tegang, tapi rupanya rasa kantuk yang Aku dan rekan-rekanku alami lebih dominan. Rena juga Ella tampak tertidur di pangkuan Noel. Noel sendiri sudah tidur pulas sambil terduduk dari tadi. Aji, Farid, Malvin sudah tak terdengar lagi suaranya. Mereka meringkuk di belakang. Cuma Aku dan Nina yang masih bangun. Kepala Nina terasa berat, sudah 2 menit yang lalu tersandar di bahuku. Edwin masih bersama Ike di ruang P3K, sibuk memperhatikan Echa. Napasku keluar bagai asap putih. Dinginnya angin gunung membuat rongga hidung terasa perih saat menarik nafas.
“Kamu lebih baik tidur Nin, kayaknya kamu ngantuk berat deh”.
“Aku takut Nung, takut nanti ada apa-apa kalau aku tidur......”, Nina mendesah.
“Nggak ada apa-apa Nin, aku jagain kamu kok. Percaya deh”.
Nina tersenyum, kemudian membaringkan kepalanya di pangkuanku. Mata Nina masih terbuka. Sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
“Kira-kira walau terpisah begini, hubunganku sama cowokku bisa tetap jalan tak ya?”. Tiba-tiba Nina bertanya.
“Waktu dulu sebelum pisah komitmennya kalian gimana?”. Nina terdiam sebentar.
“Tak ada komitmen apa-apa. Aku rasa memang berat pacaran jarak jauh. Dulu sebelum pisah kita janji sesering mungkin kirim-kirim kabar. Waktu pertama kali aku di sini memang dia sering hubungi aku. Telpon, SMS, E-mail, tapi terus lama-lama makin jarang. Seperti malam ini, dia sama sekali tak hubungi aku. Entah lagi ngapain dia di sana”.
“Jalani apa adanya Nin. Saat kamu berani pacaran, berarti kamu juga harus siap putus sewaktu-waktu. Siap segala resikonya. Apalagi kondisi jarak jauh begini”.
“Kamu sendiri Nung? Perasaanmu ke Ike, apa masih mau terus?”.
“Aku lagi nunggu kesempatan Nin. Mudah-mudahan kesempatan itu ada”. Aku menjawab setengah melamun.
“Kalau tidak datang-datang?”. Tantang Nina lagi.
“Ya harus ditunggu”.
“Itu namanya sama saja menunda-nunda perasaan Nung”.
“Aku bukan menunda, cuma menunggu saat yang tepat”.
“Sama saja. Lebih baik coba ubah itu Nung. Perasaan jangan ditunda-tunda. Nanti rugi. Cowok yang suka menunda-nunda perasaan itu cowok pengecut”. Perkataan Nina lugas apa adanya. Mungkin benar yang Nina katakan, yang selalu ku butuhkan memang hanya soal keberanian. Keberanian mengungkapkan perasaan.
Beberapa saat kemudian Aku dan Nina kehabisan obrolan. Suara jangkrik terdengar sayup. Bulan sabit menggantung di gelap mega. Malam sepi dan sunyi. Ada lolongan anjing di kejauhan. Nina akhirnya menyerah. Dia tertidur. Semua tertidur kecuali Aku. Tanpa disangka tak lama kemudian Ike datang membawa dua cangkir kopi.
“Nih buat kamu Nung”, Ike menyodorkan cangkir kopi itu.
“Thank you”, Kopi itu masih sangat panas, Aku harus meniupnya beberapa kali sebelum seruputan pertama.
“Edwin mana Ke?”, Iseng aku bertanya, berharap saat itu Edwin ada di tempat yang jauuuu....h sekali. Kalau perlu sibuk sampai pagi. Kesempatan berdua seperti ini sudah lama Aku tunggu, bahkan sejak hari pertama Makrab kemarin. Kalau ada yang berani mengganggu, rasanya layak untuk dilempar gelas kopi.
“Edwin masih nungguin Echa di P3K. Echa dari tadi nangis terus, ngga sampe hati lihatnya. Dia benar-benar shock. Ketakutan sampai badannya dingin semua. Dia baru pertama kali ini kesurupan”.
“Kasihan juga Si Echa, Aku juga baru kali ini lihat yang namanya kesurupan massal. Tapi kok kamunya malah ke sini? bukannya ikut nemenin di P3K? Lagian di luar kan dingin?”, Aku meninggikan resleting jaketku. Badanku menggigil, dan gigiku gemeretak.
“Males di P3K, lagian tu di sana ada Tommy”..
“Lho? Kok malas gara-gara ada Tommy?”.
“Tommy tu kemaren nembak aku lagi buat jadi pacarnya, Ih berani-beraninya. Jelaslah aku tolak. Tapi dasar dianya tetep maksa, Aku jadi benci sama dia. Aku tu ngga suka dipaksa begitu. Jadi tiap ketemu dia bawaannya udah males duluan. takut kalo nanti dia malah nekat nembak aku lagi buat yang kesekian kalinya. Ih, makin dia nekat aku malah makin benci. Jadi cowok kok ngga punya malu gitu lho. Harusnya tu kan dia jadi cowok bisa lebih fair? Kalo ditolak ya harus bisa terima dong. Jangan maksa melulu”, Ike lalu menyeruput kopinya.
“Mungkin perasaan Tommy ke kamu lumayan dalam. Lagian dia pasti cemburu gara-gara selama makrab ini kamu dekat-dekat Edwin terus. Mungkin Tommy belum bisa terima kenyataannya, kalau kamu cuma anggap dia teman biasa selama ini”.
“Ah....Tommy tu memang orangnya gitu Nung, suka ngotot, suka maksa, agak keras kepala. Capek deh.... Kalo dia cemburu, itu urusan dia, dia juga bukan siapa-siapa aku kok. Lagian aku deket Edwin itu kan gara-gara aku jadi wakil ketua kelompok ini”. Biar bisa dibilang kurang tidur, gaya bicara Ike tetap cepat. Lincah seperti biasanya
“Ah masa?....”, Aku iseng menggoda.
Ike merenung sejenak, ”Aku ngga tahu juga sih sebenarnya ya Nung, kadang aku juga terhanyut sama perasaanku. Edwin selain secara fisik menarik, dia tu juga keliatannya bisa buat aku nyaman banget. Kadang dia juga bisa bikin aku seneng. Walau kadang-kadang juga, aku ngerasa dia orangnya agak cuek”.
Aku jadi ragu mengakui perasaanku begitu mendengarnya. Kalau memang perasaan Ike sekarang ke Edwin, kecil kemungkinan Aku diterima. Aku jadi kurang percaya diri. Aku memilih memendam perasaan ini dulu. Rasanya juga timingnya kurang tepat. Pandangan Ike tertuju ke arah Nina yang tidur dipangkuan Nung.
“Nina tu kalo lagi kayak gini imut juga ya”, Ike memandangi Nina lekat-lekat.
“Sebenernya aku sempet kurang suka sama Nina waktu pertama kali”. Ike tiba-tiba mengaku.
“Kenapa?”.
“Pertama, mungkin karena aku ngerasa pertama kali liat dia kok kayaknya anaknya kecentilan banget gitu ya. Apalagi pas aku mergokin dia kemaren ngobrol sama Edwin. Ih, ganjen banget gitu lho. Trus yang kedua, aku tu ngerasa kok kayaknya Nina selalu pengen lebih dominan dari aku”.
Ike lalu melanjutkan omongannya, “Aku tu sebetulnya juga agak iri. Mukaku kalah cantik dibanding dia. Aku suka minder kalo deket dia. Kadang kalo aku sama dia lagi jalan berdua, Nina tu rasanya bisa lebih banyak nyuri perhatian orang”. Penjelasan Ike jelas subyektif pemikirannya
“Itu mungkin bisa jadi karena Nina lebih ramah. Kalau dari segi fisik sebetulnya kalian kurang lebih sama kok”.
“Masa sih Nung? Menurutmu, Aku dibanding Nina mana yang lebih cantik?”.
Aku jadi bingung menjawabnya, ”Aku rasa kamu lebih cantik Ke...”.
“Kok bisa? Alasannya apa?”, Ike mengejar lebih jauh.
Aku benar-benar kebingungan sekarang, ” Eeee... Jujur aku berani bilang kamu lebih cantik karena mungkin aku lihatnya lebih dari sekedar fisik. Bagi aku, kamu secara pribadi lebih menarik”.
“Kamu serius Nung?”.
“Iya aku serius. Kamu baik. Menyenangkan. Lucu. Aku... Aku sebetulnya...”, Tiba-tiba kata-kata itu tidak mampu kuteruskan. Seperti tertahan di dalam. Mulutku mengunci. Suaraku mampet. Padahal Ike tampak menunggu kalimat selanjutnya.
“Kenapa Nung?”, Ike coba membuatku meneruskan kalmat itu. Jujur sebenarnya ingin mengatakannya, tapi saat itu entah kenapa Aku benar-benar tidak mampu. Serasa di ujung lidah, tapi tidak mau keluar. Apa diriku kurang berani?
“Bukan kok Ke, aku cuma mau ngomong kalau aku sebetulnya baru kali ini ketemu cewek yang mungkin secara personality lebih menarik”, kata-kata itu bukan kata-kata yang Aku maksud sebelumnya.
Ike cuma tersenyum menanggapinya. Entah apa yang ada dalam pikirannya waktu itu. Tidak ada yang tahu, apa yang akan terjadi kemudian.

The Profiler (Kasur-upan) II

Mbak Bintang ketua seksi P3K sudah hampir menyerah. Gadis manis berkulit putih itu sedari tadi sudah coba menenangkan orang-orang yang kesurupan. Hasilnya nihil. Orang-orang yang mengaku punya iman kuat, baik itu dari peserta maupun dari panitia sudah diperintahkan membantu, tapi belum bisa mengatasi keadaan. Malah yang jadi korban sepertinya tambah banyak. Keadaan ruang P3K benar-benar panik luar biasa, seperti UGD rumah sakit di waktu perang. Mbak Wiad tampak membaca ayat-ayat penangkal hantu dari agama Hindu. Mas Kristian sedari tadi menyebut dalam nama Yesus berulang-ulang, sampai keringatnya membanjir. Mas Wen mencoba menangkal kesurupan dengan menempelkan tasbih Budha di kening orang-orang yang kesurupan, tapi rupanya cara-cara itu belum cukup manjur untuk membuat kesurupan massal mereda.
Yang agak manjur mungkin cuma caranya Mas Anok. Padahal Mas Anok memakai cara yang agak nyeleneh. Dirinya hanya melipat kertas yang sudah ditulisi tulisan arab menjadi kipas kecil, lalu kipas itu dipukulkan ke badan orang yang mengalami kesurupan sambil berteriak-teriak.
“Hei BAJINGAN kamu !!! Ayo keluar !!! Pergi sana yang jauh, BANGSAT !!!! “, teriak Mas Anok berulang-ulang. Setelah dipukul kipas kecil itu, korban kesurupan tampak melemas. Satu jam 15 menit kemudian kesurupan massal baru bisa reda.

The Profiler (Kasur-upan)

Tengah malam menjelang subuh, terjadi kekacauan di arena Makrab. Beberapa peserta Makrab berteriak-teriak, mengoceh tak karuan. Panitia panik setengah mati, mereka sama sekali tidak menyangka, kalau bakal terjadi kesurupan massal. Semua peserta dibangunkan. Angin yang tadinya pelan tiba-tiba berhembus kencang.
Peserta yang kesurupan langsung dibawa ke ruang P3K. Kontan panitia P3K bingung. Kalau soal luka atau kecelakaan biasa sih mereka bisa atasi, tapi kalau kesurupan massal mau diobati pakai apa coba? Aku terbangun gara-gara badanku diguncang keras oleh Noel.
“Nung bangun, disuruh kumpul di luar”, Noel lalu mengenakan jaketnya setelah melihatku bangun.
“Ada apa?”, Aku sempat mendengar teriakan-teriakan histeris dari luar .
“Banyak yang kesurupan.....”, jawab Noel secepatnya. Aku langsung mengenakan jaketku, lalu cepat-cepat keluar tenda. Di luar tenda, hawa mistis yang luar biasa langsung bisa kurasakan. Pikiranku langsung tertuju ke tenda teman-teman perempuan, mudah-mudahan semuanya baik-baik saja.
Rupanya keadaan tak sebaik yang diharapkan. Echa kesurupan, badannya mengejang keras. Mulutnya meracau bahasa aneh. Matanya melotot, dan suara yang terdengar dari mulutnya itu bukan suara aslinya. Nina, Ike, Rena, Ella, dan Hesti yang baik-baik saja jadi ketakutan. Farid dibantu Noel coba memegang tangan Echa, tapi keduanya malah dihempas ke belakang. Edwin, Aku, juga Aji kemudian turut membantu. Echa dibawa ke tenda P3K. Lima orang pria menahan seorang perempuan berbadan kurus itu bukan hal yang wajar. Di ruang P3K juga ada 15 orang lagi yang mengalami nasib sama dengan Echa. Ruang P3K sudah cukup penuh dengan kepanikan panitia di dalamnya.

Senin, 21 Juli 2008

The Profiler (De Makrab) IV

Sudah sehari semalam Makrab Universitas Jiwa Jaya berjalan, dan aku belum dapat satu kalipun kesempatan untuk bisa berdua dengan Ike, dan sepertinya perasaan hati manusia memang cuma bisa di rasakan oleh yang bersangkutan. Malam itu panitia mengadakan acara jalan-jalan malam, menyusuri medan dan area off road di seputar arena Makrab. Mungkin teman-teman kelompokku tidak ada yang tahu perasaanku malam itu. Perasaan yang terombang-ambing antara kecemburuan dan kegelisahan. Malam itu Aku lihat Edwin dan Ike begitu mesra memimpin barisan di depan. Bahkan Edwin sempat memanggul Ike saat melewati medan sulit. Perasaanku berkecamuk, tapi sebisa mungkin Aku berusaha cuek. Walaupun sulit Aku berusaha meyakinkan diri, bahwa yang kulihat pasti segera berlalu.
Dingin udara malam Kaliurang yang lembab membuat dada terasa makin berat. Aku coba konsentrasi dengan rute yang ditentukan panitia. Ella memegang ujung lengan jaketku dengan malu-malu, tidak sedikitpun mengajak bicara. Dibelakangku Nina mendekap tangan di dada, menahan rasa dingin. Farid cuek membiarkan Nina disampingnya, tanpa memberi bantuan yang berarti atau sekedar mengajak ngobrol. Teman-teman yang lain juga diam. Beberapa meter kemudian di depan ada lambaian senter, rupanya ada pos pemberhentian untuk istirahat sejenak.
“Temen-temen, mau istirahat ndak?”, logat jawa Edwin terdengar medhok. Entah kenapa semua diam.
Beberapa saat Edwin memperhatikan teman-teman kelompoknya. Mungkin karena tidak mendapat jawaban Edwin menanyai Ike, ”Kamu capek ndak? Mau brenti po?”. Ike menggeleng. Aku memilih menundukkan wajah, perasaan cemburu yang menjengkelkan itu tiba-tiba muncul lagi.
“Lebih baik terus saja, kelamaan diam malah bikin kita tambah kedinginan”, Nina buka suara, sedikit ketus.
Kakak-kakak panitia yang ada di pos pemberhentian itu bilang rutenya kira-kira masih dua kilometer lagi. Edwin memutuskan jalan terus. Aku minta Farid berganti pasangan. Nina tersenyum tipis waktu Aku menggantikan Farid disampingnya. Tanpa malu-malu kugandeng tangannya.
“Hati-hati”, bisikku pelan. Nina diam saja, hanya mempererat genggaman tangannya. Beberapa kali kuperhatikan Nina sering menghela napas panjang, seakan mengeluh karena ada beban berat di dadanya.
“Kamu capek Nin?”, Aku coba ajak dia bicara.
Nina menggeleng keras, lalu menghela napas lagi. Kali ini dengan tarikan yang panjang.
“Something in your mind?”, Aku coba menebak.
“Maybe it's just my feeling.....”.
“About someone? Or something?”.
“Someone”, desah Nina
“If you don't mind, would you share it with me?”.
Nina terdiam beberapa saat, seperti mengumpulkan kekuatan untuk mengeluarkan kata-kata.
“Honestly, Aku kurang begitu suka Ike”.
Aku sempat agak terkejut,”Why?”.
“Mungkin dia tau yah aku sedikit tertarik sama Edwin. Aku sebetulnya bingung juga tentang perasaanku. Bisa jadi perasaan ini cuma pelarian. Soalnya aku baru pisah dari cowokku di Kalimantan. Setiap kali Ike ngobrol sama aku atau temen-temen kelompok ini, entah kenapa rasanya kalimat-kalimatnya nyinyir. Kata-katanya seperti nyindir aku. Seolah-olah dia mau tunjukkan aku berambisi buat jadi wakil ketua kelompok ini, biar aku bisa dekat Edwin. Seperti seakan-akan Aku mau rebut Edwin dari dia, but in the end i hope it's just my feeling and i wrong about it”, Nina bercerita setengah berbisik. Nung langsung paham pokok persoalannya.
”Mungkin kita cuma iri Nin, karena kita kurang beruntung bisa menemukan orang yang kita cari di tempat ini”.
“Mungkin juga yah Nung. Eh... kamu jangan bilang siapa-siapa ya Nung, this is our secret”, Nina mendekatkan telunjuknya di bibirnya.
“You can count on me”.
”Oh yea? Give me one reason, to make me trust you”.
Aku mendekatkan mulut ke telinga Nina lalu berbisik,” I tell you my secret, Aku suka Ike”.

The Profiler (De Makrab) III

Sampai di kampus lagi teman-teman yang lain sudah pada kumpul semua, lengkap dengan Mas Yanto dan Mbak Wina sebagai pendamping kelompok. Aku sempat berkenalan dengan temen-temen satu kelompok yang lain. Ada Aji yang kelihatan pendiam. Farid yang dandanannya ngepunk. Lengkap dengan tato, rambut mohawk dan tindik di hidungnya. Ada juga Bagus yang tampak lemah responnya. Malvin yang biasa-biasa saja. Terakhir Noel yang tampangnya kayak bapak-bapak. Tadinya aku malah sempat mengira Noel ini dosen yang mau ikutan Makrab juga. Habis tampangnya berumur banget. Tak lama kemudian Pak Hartono selaku Pembantu Dekan memulai sambutannya. Dekan berhalangan hadir rupanya. Sambutannya cukup singkat, padat, dan boring. Intinya peserta diharap hati-hati. Memang sepertinya pembantu dekan ini bukan tipe-tipe orang yang pintar berkata-kata. Tampangnya text book banget, alias berbuku-buku. Keriput dimana-mana. Selanjutnya giliran Bang Petrik selaku ketua panitia yang memberi pengarahan lengkap dengan peraturan-peraturan dan tata tertibnya. No Rules, No Makrab la yaww..... Peserta makrab siap diberangkatkan. Dipersilahkan melompat ke atas truk, persis tawanan perang mau diangkut ke kamp konsentrasi. Begitu sampai lokasi makrab, tiap kelompok dikumpulkan lagi. Kalau diperhatikan, rupanya sengaja dikumpulkan karena tenda yang mirip barak, atau mungkin barak yang mirip tenda atau apalah namanya itu (susah juga nggambarinnya....), belum selesai dibangun. Sambil menunggu, Aku mulai kenalan dan coba mengobrol dengan teman-teman satu kelompok yang lain, terutama yang cewek. Ike sudah kenal. Nina juga sudah, lalu ada Rena yang kurus, langsing, dan rata. Rambutnya panjang keriting, warnanya merah. Kalau diperhatikan sepintas mirip Mulan Jameelah. Ada Hesti yang kecil pendek. Ada Echa yang tampak menonjol. Menonjol giginya maksudnya. Ada Ella yang.....no comment lah ( dosa ngomongin orang melulu). Sesaat kemudian, dadaku sempat tercekat. Aku lihat Ike begitu asyik ngobrol berdua dengan Edwin. Ketawa-ketawa sambil sesekali saling goda. Keakraban Ike dan Edwin membuatku sedikit terusik, tapi Aku coba bersabar. Aku coba menunggu, menunggu datangnya kesempatan berdua dengan Ike.

The Profiler (De Makrab) II

Acara Makrab diadakan di Kaliurang. Kaliurang bisa di bilang puncaknya Yogya, dekat Gunung Merapi. Peserta Makrab di suruh kumpul di halaman depan kampus. Teman-teman kelompokku janjian kumpul di dekat pintu masuk, tapi ternyata Sampai di sana Aku belum melihat satu orangpun. Aku jadi celingukan seindiri.
Selagi penasaran begitu rupa, bahuku tiba-tiba di tepuk dari belakang. Sesosok cewek bening berbadan semok menyapa.
”Hei, kamu anggota kelompok 8 juga yah?”. Pelan aku mengangguk, jiwaku masih kabur dari raganya gara-gara kaget barusan.
“Yang lain mana? belum datang yah?”, cewek itu memandang sekelilinganya. Cewek ini mulai dari muka sampai body betul-betul aduhai, mirip Titi Kamal. Cuma rambutnya lebih pendek. Rambut sebahu seperti Dora the explorer.
Aku mengangkat bahu,” Ngga teu deh kite.....”.
“Eh kamu bawa motor kan?”. Cewek itu bertanya lagi.
"Bawa, memang kenapa?".
“Kebetulan aku dapat tugas buat bawa kayu bakar nih, nah kayu bakarnya tadi ketinggalan di kosku. Aku tadi sempat minta tolong Mas Yanto diantar balik ke kos buat ambil kayu bakar itu, terus dia bilang mau ambil absen kelompok kita dulu di koordinator panitia, eh sampai sekarang kok belum balik-balik Kamu tolong aku yah? Antar aku balik ke kos bentar ambil kayu bakar......yah? Mau yah? ”.
“Ok deh yuk, siapa takut?”. Ringan aku menjawab.
Cewek itu jadi berseri-seri. Aku sendiri diam-diam cukup bersyukur juga. Lumayan dapat kenalan satu lagi yang bening.
Beberapa menit kemudian motor dengan nomor plat AB 3577 NU meluncur mesra. Rasanya tidak enak kalau diam saja. Aku coba memulainya.
“Berapa banyak kayu bakarnya neng?”.
“Ih…. kok neng sih?”.
“Mangkanya kenalan dulu dong…….”.
“Namaku NINA, kamu siapa?”.
“Nung...”.
“Nung apa? NUNGging?”, ujarnya cekikikan.
Buset! Berani-beraninya ngeledek, pikirku
“Jangan marah yah Nung, just kidding kok..”, Nina menetralisir.
“Aku nggak bisa marah sama cewek cakep Nin, o iya ngomong-ngomong Nina asalnya dari mana?”.
“Kalimantan.....”.
“Kok jauh banget?”.
“Yaaaah, cari pengalaman Nung. Coba-coba merantau biar wawasan tambah luas. Sekali-sekali mandiri, eh itu belokan belok kiri yah....”, Nina memberi aba-aba.
Aku berbelok dan berhenti di depan kos-kosan Nina. Sebuah rumah besar bertingkat dua. Catnya berwarna kuning cerah. Aku bisa lihat dari luar pagar, halamannya lumayan luas. Pot-pot berisi tanaman adenium beraneka ukuran, besar dan kecil ditata rapi di situ. Nina menggeser pintu pagar.
“Masuk ke dalam yuk, bantu angkat kayu bakarnya yah?”. Aku mengikutinya masuk. Kos-kosan itu suasananya agak terbuka. Aku mengangkat kayu bakar yang terikat jadi satu dekat pintu kamar Nina. Ada tiga ikat di situ. Semuanya langsung dibawa sekaligus

The Profiler (De Makrab)

Sore itu Aku ikut briefing Makrab di aula. Ternyata yang ikut Makrab banyak juga, khususnya mahasiswa angkatan baru Sore itu Peserta dibagi jadi beberapa kelompok. Aku cukup beruntung Ike satu kelompok denganku. Setelah berkenalan satu sama lain, peserta cewek dan peserta cowok kemudian dipisah. Peserta cewek ikut pendamping cewek kelompoknya masing-masing sedangkan peserta cowok ikut pendamping laki-laki kelompoknya masing-masing. Pendamping laki-laki kelompokku namanya Mas Yanto. Orangnya agak keibuan. Genitnya minta ampon. Apa lagi Mas Yanto ini ternyata punya hobi colek-colek pantat cowok. Hiii..... . Ini yang bikin Aku jadi agak ngeri, takut jadi korban orientasi seksual menyimpang.
Mas Yanto menunjuk teman yang bernama Edwin buat jadi ketua kelompokku, dan ternyata Ike yang kemudian ditunjuk jadi wakilnya. Diam-diam Aku mulai risau. Apa waktu Makrab nanti Aku masih punya kesempatan? Mudah-mudahan masih. Demi mengobati kegusaranku, Aku coba lirik anggota-anggota perempuan lainnya. Ada satu yang menarik, bening dengan body agak montok. Yang lainnya biasa, nilainya standar. Berhubung sudah malam, para peserta dipersilahkan pulang.
“Jangan lupa besok minggu kalian ke kampus jam 11 yaaaa......, kita latihan tari poco-poco okeeeee????.......”, teriak Mas Yanto.

Minggu, 20 Juli 2008

The Profiler (Love in my hearth)

Ike.... ya Ike. Nama itu entah kenapa menjadi begitu spesial kemudian. Semenjak perkenalan itu dia langung jadi bagian dari ceritaku ini.

Saat kita jumpaaa..... Ada rasa di dalam dada
Kau tersenyum manja, membuatku terpana


Nah, lagu cafe mengiringi cerita perkenalanku dengan Ike. Cukup mendramatisir kan? Kembali ke Ike. Nama yang juga pernah disukai oleh beberapa orang selain aku, seperti Tommy, Yogi dan Benny. Mereka semua teman-teman sekelasku juga. Tommy bahkan terang-terangan menyatakan perasaannya, tapi sayang ditolak. Begitu juga dengan Yogi, mengalami nasib yang sama dengan Tommy. Kalau Beny, mungkin lebih baik aku ceritakan nanti.

Terpesona ku pada pandangan pertama
Dan tak kuasa, menahan rinduku
senyumanmu selalu menghiasi mimpiku
Ingin kupeluk, dan ku kecup keningmu...... oooo indahnya

Setelah perkenalan itu, aku dan dia jadi dekat. Kami sering jalan berdua. Mengobrol dengannya begitu menyenangkan. Ike juga orangnya enak diajak tukar pikiran. Kami bisa mengobrol apa saja. Mulai dari perang teluk sampai gosip artis. Kadang-kadang diselingi canda. Aku paling senang menatap matanya yang lincah bergerak-gerak saat berbicara. Aku lihat dia juga senang di dekatku. Dari hari ke hari rasanya chemistry yang tercipta semakin kuat. Lama-lama perasaanku terpengaruh. Aku mulai punya perasaan suka padanya. Waktuku jadi cukup sering tersita oleh angan-angan tentang dirinya. Aku coba berikan sedikit isyarat-isyarat, seperti waktu sore itu. Aku ajak dia keluar makan di Mr. Burger. Aku pilih tempat yang sepi di lantai dua, biar bisa ngobrol lebih leluasa. Suasananya juga lebih intim. Pemandangan malam dari lantai dua memang bagus. Kesannya menunjang untuk hal-hal yang berbau romantis.
“Aku baru pertama kali ke sini Nung. Kamu sering ke sini ya?”, Ike membuka obrolan.
“Jarang Ke. Dulu aku tahu tempat ini juga gara-gara ada teman Ulang Tahun, terus diajak makan-makan sini. Kamu biasanya tempat favorit buat makan dimana?”.
“Ngga ada yang spesial sih, paling kayak warung-warung biasa di pinggir jalan. Untuk tempat yang punya atmosfer khas begini, aku belum pernah”.
“Ya, mungkin kalau nanti kita sering jalan bareng, kamu pasti tahu lebih banyak lagi tempat-tempat khas begini”.
Senyum kecil di bibir Ike membuat lesung pipitnya menyembul manis. Pada saat yang bersamaan pengantar makanan datang membawa pesanan.
“Makan dulu deh Ke…. ”, Aku harap saat makan obrolan ini tidak terputus.
“Burgernya keliatannya enak Nung… ”, Ike kelihatan excited. Aku biarkan gadis itu menikmatinya. Harus Aku akui, saat itu aku benar-benar tertarik padanya.
“Kamu sering ajak cewekmu ke sini Nung?”, tanya Ike tiba-tiba.
I don't have girlfriend”.
I don't believe it. A boy, like you, don't have any girlfriend? it's weird, you must be kidding....”.
It's true, bisa dibilang kamu cewek pertama yang aku ajak ke sini...”.
Ike tersenyum manis,” I'm Impressive. So sweet. Thank you....”.
“You' re welcome”.
“Kamu pernah punya pacar Nung?”.
“Pernah dulu, tapi akhirnya kita putus. Dia dapat beasiswa buat kuliah di Jerman. Kebetulan dia pengen banget ke sana buat belajar ilmu aerodinamika. Memang dia jenius luar biasa. Dia juga orangnya fair, dia bilang terus terang kalau dia nggak bisa pacaran jarak jauh. Sebagai laki-laki aku juga harus lebih fair, Aku harus rela putus dari dia”, Aku sedikit bercerita. Ike serius mendengarkan.
“Kamu sendiri Ke? Pernah punya pacar? ”, Aku ganti bertanya.
“Pernah sih, walaupun ngga lama sebetulnya. Kenangan kelabu itu. Hubunganku berakhir gara-gara cowokku selingkuh. Mangkanya aku tu sekarang cenderung ati-ati kalo ada cowok yang keliatannya pengen ndeketin. Mungkin bisa dibilang masih trauma sih”.
“Hati-hati sih boleh, tapi tak semua laki-laki kan suka mendua?........”.
“Kamu ngomong kayak judul lagu dangdut aja”, Ike tertawa kecil.
“Lho? Kok tahu itu judul lagu dangdut? Jangan-jangan kamu sendiri suka lagu dangdut?”, Aku mulai menggoda. Aku memang senang menggodanya
“Ich nehi......sori lah ya.....”, Ike mencibir.
“Suka juga nggak ada yang larang kok”.
“Gengsi lah yaww........ Jaman gini masih suka dangdut, kayak ngga ada yang lain aja. Kamu kali yang suka, ngaku aja deh.....”.
“Maap Sodara, aku cuma suka Jazz”.
“Kok Jazz? Jazz itu kan musiknya bapak-bapak? lagian bukan musik yang umum di suka orang kan?”.
“Jazz itu nadanya miring-miring, lagi pula improvisasinya nadanya tinggi, memang bukan hal yang gampang buat diterima kuping orang awam”. Ike cuma manggut-manggut, mungkin agak kurang nyambung.
“Kalau cowok suka jazz kamu suka?”, Aku mulai memancing.
“Buat aku sih, selama tu cowok hobinya ngga menyimpang. Karakternya baik, ngga playboy, ngga urakan atau ngga keterlauan-keterlaluan banget, mungkin bisa aku pertimbangkan. Aku seneng cowok yang dari segi fisiknya rapi, sifatnya jujur, bisa dipercaya....”.
Kata-kata Ike walaupun samar tapi cukup mengirim isyarat pengharapan buatku. Ge-er mungkin, tapi ya terserah lah.
“Kalo kamu sendiri suka cewek yang kayak apa Nung?”, Ike ganti bertanya lagi.
Aku agak bingung menjawabnya,”Emmm.....kayak apa ya?”.
“Biar kutebak deh, kamu pasti suka cewek yang pinter, ya kan? Betul kan?”.
“Dasarnya apa kamu nebak begitu?”.
“Soalnya aku tu liat kamu orangnya lumayan cerdas Nung, di kuliah kamu keliatan banget disayang dosen. Pastinya kamu nyari cewe yang paling ngga bisa ngimbangin dong. Ya ngga?”, Ike coba beri alasannya. Matanya bergerak lincah, membuatku makin senang menatapnya.
Maybe yes maybe no, Aku sendiri lebih suka cewek dimana aku bisa temukan pribadi yang hangat. Cewek yang bisa buat aku nyaman untuk sekedar ngobrol atau tukar pikiran, itu yang penting”. Aku sebetulnya berharap Ike merasa, kalau dialah cewek yang Aku maksud.
“Menurutmu, ada ngga cewek yang memenuhi kriteriamu itu sekarang?”, kata-kata itu seperti jawaban atas pancinganku barusan. Saling mancing nih ceritanya.
“Ada, aku sekarang lagi ngomong sama dia. Coba buat kenal lebih jauh”.Aku lihat Ada semu merah di wajah Ike. Suasana jadi kikuk. Perkataan tadi begitu mengena. Bukan hanya Ike sebetulnya, Aku juga jadi agak gugup, takut omonganku yang barusan tadi salah. Aku dan dia jadi seperti orang bingung, malu satu sama lain. Saat itu aku berpikir, mungkin sudah saatnya menyatakan perasaanku. Setelah malam itu, Aku coba memilih timing yang tepat. Siang itu, secara tak sengaja aku melihat papan pengumuman yang seperti biasa dirubungi oleh banyak orang. Semua seperti berebut ingin melihat isinya. Aku jadi penasaran juga. Sambil menguatkan diri turut berdesak-desakan aku melongok melihat pengumuman yang tertempel di situ. Ternyata ada pengumuman bakal diadakannya Malam Keakraban (MAKRAB) Fakultas. Hmmm…. Sepertinya ini bisa jadi moment yang pas.

The Profiler (The Beginning) III

OSPEK berakhir dengan malam inaugruasi yang meriah. Aku jadi mahasiswa sekarang. Berhubung mahasiswa baru, rasanya jadi semangat 45 buat kuliah. Memang ternyata kuliah lebih enak ketimbang waktu sekolah dulu. Kalau sekolah dulu kita dipaksa seharian penuh di sekolah, sedangkan yang namanya kuliah cukup hadir waktu sesi kuliah yang bersangkutan saja. Satu sesi paling-paling satu setengah jam. Kadang sehari cuma satu-dua sesi. Kalau kuliah selesai, bisa langsung pulang. Baru kali ini rasanya enjoy mengikuti yang namanya kegiatan pendidikan. Sok banget kali ya.....
Awal-awal kuliah Maba dikelompokkan jadi kelas-perkelas. Sistem kredit semesternya juga pakai sistem paket. Artinya habis semester dua nanti baru boleh bebas ambil jumlah mata kuliah. Kuliah hari itu masih mata kuliah dasar, judulnya PENGANTAR HUKUM INDONESIA. (PHI). Kuliah baru mulai 15 menit lagi. Sambil menunggu, sesekali kuperhatikan ruang kuliah itu dari luar. Bagian depan ruang kuliah ada OHP atau proyektor untuk slide, di samping OHP tersedia mik pengeras suara. Jadi dosen nggak perlu teriak-teriak kayak orang stress waktu ngajar. White board yang tertempel di dinding depan masih menyisakan catatan kuliah sebelumnya. Di dalamnya berjajar rapi kursi-kursi kayu. Pada bagian pegangan kursi menempel semacam papan, sepertinya digunakan untuk alas menulis. Akhirnya Dosen datang, diikuti rombongan mahasiswa dibelakangnya. Aku terlalu santai. Begitu masuk ruangan hampir tak kebagian tempat duduk. Ah... untung masih ada yang kosong di bagian tengah.
“Permisi”, ujarku pada...... eh ini kan cewek rambut pendek yang ada di kelompok Kampret kemarin? Ternyata sekelas. Cewek berambut pendek itu hanya diam. Sok jaim dia. Cewek itu memakai kaca mata. Mukanya Oval. Matanya bagus. Sepintas mirip-mirip Nurul Arifin. Penampilan serta gayanya tomboy. Selama kuliah Aku sulit konsen ke materi. Otakku malah sibuk menerjemahkan kode gagal dari Kampret kemarin. Siapa sih namanya? Yang ketahuan cuma huruf I sama E. Siapa ya? Ine , Ile, Misye, Lile, atau...... ah padahal lumayan kalau tahu. Kan bisa buat bahan kenalan.
“Kamu temennya Kampret ya?”, Cewek berambut pendek itu bertanya dan menatap ke arah ku. Jantungku serasa hampir copot. Untung rasa senang itu membuat jantungku masih menempel erat.
“Eh iya, pantes perasaan pernah lihat, kamu yang satu kelompok sama Kampret OSPEK kemarin kan?”, Aku berusaha tetap cool, stay calm, and confident.
Cewek itu mengangguk, ”Iya, kemaren Kampret ketua kelompoknya. Aku yang jadi wakilnya”.
“Eh iya kenalan, Namaku Nung, boleh tahu namamu siapa?”, Tanganku seakan terulur dengan sendirinya
Sambil tersenyum cewek itu membalas uluran tanganku, “IKE”

Senin, 14 Juli 2008

The Profiler (The Beginning) II


OSPEK atau Inisiasi selalu identik dengan atribut, dan atribut yang ditentukan memang aneh-aneh. Mulai dari kacang panjang yang harus diuntai jadi kalung, membuat tanda pengenal dari pelepah pisang, sampai memakai topi dari anyaman bambu. Aku terpaksa lembur semalaman demi atribut-atribut terkutuk itu. Gondok juga rasanya. Tapi namanya juga OSPEK, seperti biasa berlaku peraturan

Pasal 1
Kakak-kakak panitia tidak pernah salah
Pasal 2
Bila Kakak-kakak panitia melakuan kesalahan, lihat pasal 1
Acara OSPEK sebagian besar difokuskan di aula yang merangkap lapangan basket indoor. Ventilasi yang kurang membuat udara di aula itu jadi begitu gerah dan menyebalkan.
Waktu istirahat makan siang, Aku iseng lempar Kampret pakai kulit kacang. Kebetulan kelompok Kampret tak begitu jauh. Kampret langsung misuh-misuh dilempar kacang bak monyet begitu rupa. Akhirnya komunikasi Morse pun terjadi. Tiba-tiba mataku terpana pada sesosok cewek berambut pendek yang duduk disebelahnya. Sial, acara makan siang keburu selesai. Acara OSPEK dilanjutkan. Ada ceramah tentang perpustakaan dan administrasi. Sebuah kode terakhir sempat kukirim ke Kampret, “Salam buat sebelahmu”. Kampret menangkapnya dan membalasnya dengan kode anggukan. Sebelum acara benar-benar mulai. Aku masih sempat lempar satu kode lagi, “Sebelahmu namanya siapa Pret? ”. Kode balasan dari Kampret selanjutnya kurang begitu jelas, yang bisa diterjemahkan hanya huruf I dan E.

The Profiler (The Beginning)

Rasanya baru seperti kemarin lulus kuliah. Layaknya orang-orang lulus SMA, Aku sibuk cari-cari tempat kuliah. Setelah gagal dengan sukses di UMPTN, diriku mulai coba-coba daftar ke Universitas Swasta. Akhirnya pilihanku jatuh ke Universitas Jiwa Jaya. Aku coba ambil jurusan hukum. Aku tidak mendasarkan pilihanku pada suatu minat atau cita-cita tertentu. Diriku hanya mendasarkan pilihan itu pada feeling. Jadi bisa dibilang, itu hanya sebuah pilihan spontan. Singkat kata, jangan pernah tanya alasanku masuk Hukum.
Tes ujian masuk lancar tanpa halangan. Cuma begitu masuk, lumayan kaget juga. Ya Tuhan, uang gedungnya mahal cing. Untungnya bokap punya persediaan tabungan cukup.
Ahhh.... Rasanya begitu nggak sabar buat kuliah. Tapi sebelum masuk sepertinya harus ikut Ospek dulu. Waktu daftar OSPEK, aku bertemu Kampret. Kampret ini teman satu SMA dulu. Penampilannya agak berantakan, tapi sorot matanya tajam. Memberi kesan adanya kharisma yang eksentrik. Nama aslinya Adi Pradana, tapi gara-gara di teater SMA dulu dia sukses memerankan tokoh gelandangan bernama Kampret, nama aslinya pelan-pelan tenggelam. Tampang Kampret sebetulnya lumayan. Hidungnya mancung, dengan rambut agak gondrong. Bisa dibilang mirip Ekin Cheng. Seperti biasa Kampret menggandeng Mita, pacarnya dari jaman SMA dulu. Gosipnya mereka sudah tinggal serumah, padahal belum nikah. Nanti kita bisa kroscek di belakang.
“Hai Pret, ternyata ikut masuk sini juga?”. Aku coba menyapanya. Tadinya Aku ingin menjabat tangannya, tapi gara-gara kulihatnya tangannya habis dipakai mengupil terpaksa niat itu aku urungkan. Kampret sendiri malah cuek mengusap-usapkan bekas upil itu ke bajunya
“Kamu sudah daftar OSPEK? Daftarnya dimana sih?”. Kampret menggeleng santai
“Kalau aku tahu, mending aku daftar sendiri dari tadi”, ujar Kampret cuek.
“Weleh”. Aku cuma bisa geleng-geleng. Sikap cueknya itu memang kadang kerap membuat orang mengelus dada. Sementara Mita di sebelah Kampret cuma cekikikan melihatku.
Fakultas hukum Universitas Jiwa Jaya bentuk bangunannya mirip gedung bundar kejaksaan agung. Bangunannya megah dengan arsitektur memutar, dan ada taman kecil di tengahnya. Berhubung bangunan itu bundar jadi agak kurang jelas mana bagian belakang, mana bagian depannya. Bangunannya sendiri ada tiga tingkat. Tangga dengan pola memutar menghubungkan tiap lantainya di kedua sisi bangunan. Sebetulnya ada empat tingkat, karena ternyata di bagian bawah ada basement untuk perpus yang justru mirip bunker tempat persembunyian Saddam Hussein. Mahasiswa banyak yang lalu-lalang. Tak jarang mereka bergerombol memadati lorong-lorong kampus. Banyak juga yang berdesakan memadati papan pengumuman. Sepertinya papan pengumuman memang banyak fansnya.
Akhirnya setelah mengamati arus manusia dan sekitarnya, ketemu juga tempat pendaftarannya. Asli, penuhnya ngaujibilah. Apa boleh buat, kami terpaksa turut berdesak-desakan. Untung sebelum kehabisan napas Aku dan Kampret sudah selesai daftar. Selanjutnya, rasanya lebih enak kalau langsung ke Kantin buat beli minum. Kantin Kampus ada di bagian luar gedung fakultas. Ospek masih seminggu lagi.

The Profiler

Irama Jazz mengiringi malam
Disudut cafe itu aku menunggu
Seandainya aku bisa bercerita
Kuceritakan kemenanganku hari ini


Ponselku berbunyi. Kali ini bukan SMS. Ternyata Rena.
“Nung elo dimana? Ike nangis nih. Hubungannya sama Beny terancam bubar”
“Memangnya kenapa Ren?”, jawabku santai
“Ike keceplosan ngomong soal dia tidur sama kamu, di rumah Kampret itu”. Aku mengulum senyum Akhirnya semua terbongkar juga. Kuhela napas panjang. Semua sesuai rencana. Ini bukan terjadi begitu saja. Ini semua ada awalnya..... To Be Continued

Rabu, 09 Juli 2008

Komentar tentang film

Waktu Nonton :

BrockeBack Mountain : Kok Koboinya jadi gemulai gini sih?

Iron Man : Ogah pake baju kayak gitu. Ga bisa ereksi

Hancock : (Salah nonton. Judulnya ternyata Hand Cock, Isinya cuma Ah.. uh... ah.... uh )

Tali Pocong Perawan : Wah, ini kayaknya Dewi Persik bakal jadi generasi barunya Sally Marcellina nih

Tiren : Lagi-lagi Dewi Persik.........

Incredible Hulk : Gwe tau bagian tubuh hulk yang ga ikut membesar sama jadi Ijo walaupun celananya ga sobek waktu dia jadi gede

Kung Fu Panda : Ternyata aku masih kekanak-kanakan

Indiana Jones (Crystal Skull) : Malah terangsang liat cambuknya Indiana Jones. Apa gwe punya kelainan Sadhomachichist kali ya?

Tri Mas Getir : Perlu dibuat sekuelnya, "Habis dendam terbitlah Kutang"

Get Smart : (hampir mati gara2 udah ngakak abis2an ternyata lupa beli minum sebelum masuk ruang Teater. Udah gitu sempet keselek lagi.....)

To be continued.........

Kamis, 19 Juni 2008

Pelajaran dari Mas Glen

Rabu 18 Juni 2008
Aku pikir aku bakal rugi besar hari itu. Bagaimana tidak? Membayar tiket seharga 150 ribu, datang sendirian seperti orang hilang sementara orang-orang lain menggandeng "someone specialnya" masing-masing, konser yang molor satu jam lebih, capek mengantri berdiri, dan yang paling menyebalkan ketika sudah duduk di dalam ternyata yang duduk di sebelahku adalah NENEK-NENEK!!!!!!! AAAAAAA!!!!!......... This day is suck!!!!
Ternyata tidak. it,s magic..... Ketika konser Intimated with Glen mulai, aku lupa semua itu. Aransemen musiknya Gila!!! it's my favorite man..... It's Jazz. Walaupun banyak campuran pop, metro-pop, soul dan lain-lain, but totally it's Jazz. The Music Touch My Soul.
Pertengahan konser layar padam, dan hanya ada sebuah tulisan di layar besar CINTA SEJATI HANYA DATANG SATU KALI. Aku langsung terpana. Glen seolah menyindirku. Aku kena. Aku yang dulu kerap menyia-nyiakan perasaan dengan bermain cinta, kini cuma bisa menyesali semuanya. Kini aku sendiri. Tidak ada yang mau lagi denganku. Mataku terpana memandang tulisan yang bagaikan bercahaya dalam kegelapan itu. Terbayang seraut wajah di masa yang lalu. Mungkin hanya dia yang tahu, kenapa saat ini aku masih sendiri. Entah dimana dirinya sekarang. Dua lagu berikutnya langsung membuatku makin terpojok.

Kini harus aku lewati, sepi hariku
Tanpa dirimu lagi.....
Biarkan kini kusendiri, melawan waktu
Tuk melupakanmu
Walau, pedih hati. Namun aku bertahan........

Aku bernyanyi mengikuti lagu itu sambil tertunduk. Tubuhku lemas. Seandainya wanita mungkin aku sudah menangis seperti orang cengeng.


Tuhan bila masih ku diberi kesempatan
Izinkan aku untuk mencintainya
Namun bila waktuku telah habis dengannya
Biar cinta hidup sekali ini saja......

Tak sanggup bila harus jujur, hidup tanpa hembusan nafasnya.........


Mungkin ini pelajaran buatku, jangan menyia-nyiakan hati. Aku memang sudah merasa. Seandainya besok, ketika waktu itu tiba. Aku mendapatkan seseorang, mungkin orang itu bukan cinta sejatiku. Karena aku juga percaya, CINTA SEJATI HANYA DATANG SATU KALI.......


Buat Mas Glen, Terima kasih untuk musik, pelajaran dan sindirannya

Minggu, 15 Juni 2008

Mereka Memang ada

Waktu itu sebetulnya bukan musim hujan, tapi entah kenapa hari itu hujan turun deras. Cuaca mendung, dingin dan lembab. Membuat kampus jadi tampak suram. Bangunan tua itu berdiri menjulang, memutar. Bentuknya seperti gedung bundar kejaksaan agung. Bangunannya melingkar dan ada taman kecil di tengahnya. Sempat ada rumor kalau kampus ini sebenarnya dulu bekas rumah sakit. Aura rumah sakit kadang memang terasa di waktu-waktu tertentu. Terutama waktu malam hari. Ini yang membuat mahasiswanya jadi lebih suka milih cepat-cepat pulang kalau kuliah terakhir jam 7 malam selesai.
Lorong-lorong kampus hari itu begitu sepi. Tidak ada keramaian seperti biasanya. Hanya satu dua mahasiswa lalu-lalang sendirian. Mereka menyusuri lorong-lorong kampus yang bisu. Tubuh mereka lalu seperti menghilang di balik pintu-pintu ruangan. Pagi itu hanya tiga ruangan yang dipakai kuliah. Sisanya kosong. Aku melintasi ruang-ruang kosong itu. Rasanya dari dalam ruangan itu ada mata yang sedang mengawasiku dari tadi. Langkah kupercepat. Udara dingin yang menyebalkan selalu membuatku tidak kuat menahan pipis. Dari tadi rasa kebelet itu sudah coba aku tahan, tapi kandung kemihku malah terasa sakit. Memang kurang baik terlalu lama menahan kencing.
Tinggal beberapa langkah lagi dari WC, tiba-tiba seperti ada udara dingin yang menabrakku dari belakang. Membuatku berhenti mendadak. Sejenak aku menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Tanpa sadar bulu kudukku berdiri. Aku mengusap tengkuk dan bergidik. Kuanggap angin itu bukan apa-apa. Langkah kuteruskan. Tinggal beberapa langkah lagi dari ruang WC. Ruang WC itu terbagi dua, dengan sekat tembok. Kanan WC pria dan kiri untuk wanita. Di sisi tembok itu ada sebuah wastafel. Mataku menangkap sesosok perempuan berambut panjang terurai sedang menyisir rambutnya di depan wastafel. Ada sebuah bisikan entah dari mana. Seakan-akan mengingatkan diriku, “Itu bukan orang....”. Tubuhku terpaku melihat pemandangan selanjutnya. Perempuan berbaju putih panjang itu memegang lehernya dan melepas kepalanya sendiri. Kepalanya yang lepas dari leher itu kini dipegangnya dengan tangan kiri, sementar tangan sebelah kanan yang memegang sisir terus menyisir kepalanya itu. Aku melihat tubuh tanpa kepala menyisir kepala yang dipegangnya sendiri. Perasaan tercengang itu seketika berubah menjadi ketakutan dan kengerian. Spontan diriku lari pontang-panting menjauh. Sempat di terdengar suara lirih tawa cekikikan dari WC dibelakangku. Mulai saat itu lebih baik jangan pernah ke WC kampus sendirian, karena bukan hanya anda yang butuh teman. Mereka juga ingin ditemani.

PS :
Rasakan bulu kuduk anda yang berdiri ketika membaca cerita ini. Siapa tahu mereka ada di belakang anda saat ini.......

Kamis, 12 Juni 2008

Aku dan Mrongoswati

Kalau anda hobi membaca blog, aku sarankan untuk mencoba sejenak melongok blog mrongoswati.com. Blog mrongoswati adalah salah satu blog yang tidak saja gaul dan enak dibaca bagi siapa saja, tetapi juga unik, bebas, kreatif dan ekspresif. Penulisnya sendiripun juga tidak kalah ajaib. Orangnya cuek, bahkan punya kesan bahwa urat malunya sudah putus sejak lama. Dan itu semua bukan sesuatu yang dibuat-buat. Artinya jujur apa adanya. Jujur juga termasuk berani mencela diri sendiri dan tampil apa adanya. Mungkin itu yang membuat Mrongoswati bisa lugas dan lancar menulis dengan bahasanya. Bahasa yang menunjukkan gayanya. Gaya yang menunjukkan perpaduan antara orang tidak punya malu sekaligus polos. Unik bukan? Di saat orang lain bingung memikirkan gaya apa yang ingin ditampilkan, sibuk berdandan dan memoles diri, memakai topeng sehingga tampak lebih anggun dan elegan di depan pacar, calon mertua atau pimpinan. Mrongoswati malah tampil apa adanya. Dirinya tidak sibuk dengan gaya, apa lagi memikirkan penampilan dan cara berbicara atau semacamnya. Dirinya tidak takut untuk di cap tidak intelek, kurang berbobot (anaknya mah emang kurus sih.....), atau menimbulkan aib. Dalam suatu kesempatan dia pernah membacakan sumpah palapa versi Mrongoswati, “Apa yang pingin aku tulis dan aku omongin, ya itu yang aku tulis”. Tidak nampak kesan bahwa itu sebuah kalimat yang diucapkan untuk mencari sensasi, seperti kebanyakan politikus atau artis ibukota. Jujur saya iri dengan Mrongoswati. Saya tidak bisa menulis seperti itu. Gaya yang lugas, lancar dan apa adanya. Menciptakan istilah-istilah yang menarik. Mengemas yang biasa menjadi begitu enak untuk dinikmati. Itulah kelebihan dan bakat Mrongoswati. Saya perlu banyak belajar dari dia. ViVa Mrongoswati........ Mrongoswati adalah wanita dan Kuncup Jari adalah Pria (Yang satu ini jelas ga ada hubungannya. Out of the topic gitu loh.......)

Rabu, 11 Juni 2008

Tears of the sky (The Reporter)

Aku berhenti menulis artkel itu. Rasanya berat menulisnya. Inilah beban moral seorang wartawan. Di satu sisi aku hanya ingin mengungkap kebenaran tetapi di satu sisi memang kadang tidak setiap orang siap untuk menerima kebenaran itu. Aku memandang meja kerjaku. Semua data-data tertulis yang sudah kukumpulkan sejak beberapa hari yang lalu berserakan di atasnya. Data-data itu hanya aka menjadi sampah kalau aku tidak meneruskan artikel itu dan mengirimkannya ke meja redaksi. Berita ini pasti heboh. Aku bayangkan artikel ini menjadi headline di surat kabarku besok Pernikahan Kembali Da'i idola, Sebuah Konspirasi Keagamaan. Kupandang jam dinding di sudut ruangan, Jam 12 malam lebih 45 menit. Sebentar lagi jam 1. Bisa dipastikan sampai besok pasti aku tidak tidur. Aku lihat jadwalku untuk besok. Betapa padatnya.
Jam 07.15, Ada janji dengan Ibu dari Muhammad Subail. Salah satu korban Sodomi dan Mutilasi
Jam 09.00, Aku harus menyerahkan artikel tentang yang aku tulis ini
Jam 10.00, Ke istana negara. Aku harus meliput demo yang dilakukan oleh orang-oang FPI
Jam 10.45, Aku ada janji dengan Dokter Forensik di RS Dr. Sutomo.
Jam 11.12, Membeli tiket untuk berangkat kembali ke Roma

Tears of the sky (The Woman)

Sajadah itu bukan lambang iman yang kupercayai. Hari-hari ini aku melakukan ibadah bukan yang sesuai dengan yang kupercayai. Semua ini hanya perintah. Ironisnya ternyata ahkir-ahkir ini malah menemukan kedamaian hatiku dari sajadah itu. Tempat aku menangis meluapkan segala perasaanku dan keluh kesahku. Laki-laki itu pasti sekarang sedang memimpin pengajian di mesjid Al-Khasanah bersama-sama dengan istri pertamanya. Aku yakin pengajian hanya sedikit yang datang. Pamor dan kepopuleran laki-laki itu memang sudah merosot sejak sebulan yang lalu. Terhitung semenjak dirinya mengambilku sebagai istri keduanya. Semenjak itu kehidupan laki-laki itu yang dikenal luas sebagai seorang Da'i itu mulai kacau. Tujuanku memang diharapkan untuk menimbulkan kekacauan, misi yang kulaksanakan berhasil. Menjadi istrinya adalah keberhasilan misi yang kuemban. Setahun yang lalu aku bersama seorang perantara berhasil masuk ke dalam lingkungan Da'i itu. Aku mendapatkan kepercayaan sebagai sekretaris pribadi Da'i itu. Mendekati Da'i itu adalah bagian dari tugasku. Da.i itu memang sangat terkenal, tak jarang orang menjadikan dirinya idola, bahkan panutan hidup. Kehidupan laki-laki itu bagaikan suatu kehidupan sempurna yang banyak dimimpikan orang. Materi berlimpah dan usaha yang sukses membangun kekaisaran bisnis dan jaringan organisasi keagamaan, keluarga yang sakinah mawadah warohmah, istri yang cantik dan berakhlak mulia, kepupuleran pun dimiliknya di kalangan masyarakat. Tidak kurang suatu apapun. Laki-laki itu memang tampak begitu sempurna, namun dirinya tetap laki-laki. Ada yang bilang kelemahan laki-laki adalah salah satu dari antara harta , wanita dan tahta. Aku sendiri tidak tahu apakah hal ini berlaku bagi setiap pria? Aku juga tidak tahu apakah yang namanya kelemahan itu memang seharusnya di akui atau untuk diintrospeksi kemudian dikurangi dan dihilangkan sedikit demi sedikit?

Tears of the sky (The Beginning)

Doaku kepada Tuhan. Salib itu memandang dingin. Aku hanya memandangnya dengan iman. Percaya bahwa yang kulakukan ini benar. Entah apa iman itu? Melakukan yang kupercaya benar atau melakukan yang kupercaya sebagai kebenaran? Melakukan perintahNya atau perintah yang kupercaya sebagai perintah dariNya? Hati yang terdogma ini tak ubahnya seorang bagai seorang sales yang terus mengoceh bahwa apa yang kulakukan ini adalah benar. Namun hati kecilku terus meminta maaf kepadaNya. Inikah dosa yang sebenarnya? Selama ini orang memandangku sebagai imam suci. Aku mengucapkan kaul kemurnian dan kesucian ketika ditahbiskan. Bersumpah untuk hidup suci dan sejauh mungkin dari dosa. Sayangnya setelah itu, aku malah semakin tidak tahu kapan tindakanku berdosa atau tidak. Setahun yang lalu surat perintah itu datang langsung dari pusat. Sepertinya pusat sudah melihat latar belakang dan sejarahku. Seorang pemuda yang mendapatkan pencerahan dan berpindah kepercayaan dari seorang muslim memeluk iman kristiani. Lima tahun kemudian setelah pendidikan di seminari ditahbiskan menjadi imam. Orang-orang memanggilku Romo Muhammad, sebuah paradoks yang sangat kontras. Hal yang kupercaya sebagai iman itulah yang membimbingku pada nasib ini. Berangkat pergi meninggalkan umat-umatku. Aku tahu aku akan belajar. Aku memang belajar di sana, namun yang kupelajari di sana adalah imanku yang dahulu. Iman yang dibawakan nabi yang memiliki nama yang sama denganku. Mulai dari konsep KeTuhanan, Tauhid, Syariah, hingga Sufi. Aku belajar tentang Sholat, anehnya lengkap dengan prakteknya. Aku belajar tentang Al-Qur'an, semuanya 32 Jus. Aku belajar tentang dunia arab, latar belakang sejarah, etos budaya lengkap dengan pengetahuan tentang tata cara naik haji. Aku tidak pernah mengetahui untuk apa aku melakukannya, aku hanya berpikir, oh barangkali setelah ini aku juga akan belajar tentang Budha, Hindu dan agama-agama yang lainnya juga sehingga wawasan yang ada padaku bertambah, tetapi ternyata tidak. Semua itu dipersiapkan secara khusus untuk sebuah misi. Setelah pengetahuanku tentang islam dianggap cukup, dogma Kristiani kembali ditanamkan dengan ekstrem kepadaku. Sehingga yang ada di kepalaku adalah doktrin yang layaknya seorang tentara. Aku yang sudah dipersiapkan secara khusus diperintahkan kembali ke negaraku, mendampingi seorang wanita. Wanita untuk sebuah misi khusus dengan kode 4D4M N ElVA.

Next Story: Lanjutan Dongeng Nglindur

Dayang Sumbi mendatangi rumah sahabatnya Dewi Sri. Sudah lebih dari setengah jam yang lalu dia curhat pada Sang Dewi.
“Dewi.... tolongin dong. Masak kamu tega sih membiarkan sahabatmu ini hidup sendirian dalam kesunyian”.
“Lha terus nyong musti bagaimana Sum? Nyong kan sudah bilang sama sampeyan. Jangan gampang esmosi, eh.... emosi. Sangkuriang berbuat seperti itu kan gara-gara dheweke sayang sama sampeyan, dia pingin berbakti pada ibunya. Ini kok tanpa tedeng aling-aling langsung main getok kepala pakai centong nasi. Centongnya dari batu lagi. Masih untung sampeyan ndak dilaporkan Sangkuriang atas tuduhan pelanggaran undang-undang perlindungan anak”. Dayang Sumbi cuma terisak-isak sambil menunduk, meremas-remas ujung selendangnya sampai kusut.
“Habis, Sangkuriang keterlaluan. Tumang itu biar kakinya empat, begitu-begitu kan dia suamiku. Notabene Bapaknya juga, cuma beda jenis aja.”.
“Nyong kan juga sudah pernah bilang sama sampeyan. Mbok orientasi seksual itu dibenerin. Jangan suka aneh-aneh. Ini kok sukanya nyleneh berhubungan sama hewan. Ndak lazim. Laki-laki kan banyak? Rasain sendiri kalau begini kejadiannya”. Dayang Sumbi malah senyum-senyum sambil agak malu-malu.
“Habis, menurutku yang enak begitu”. Dewi Sri cuma geleng-geleng kayak lagunya Project Pop.
“Sampeyan ini kan cantik. Sexy dan aduhai. Mulai sekarang coba inyaf, yang normal-norma aja”.
“Iya tapi sama siapa? Dewi tahu kan kalau aku ini orangnya pemalu. Mangkanya tolong carikan dong. Kenalin kek. Jodohin kek. Sekarang kan jamannnya jodoh-jodohan kayak acara reality show anak muda di TV itu”. Dewi Sri berpikir sejenak.
“Nyong punya kenalan, sepertinya cocok buat sampeyan. Dia juga baru patah hati. Asalnya dari Klaten Jawa Tengah. Nyong bisa bantu sampeyan buat janjian terus kenalan sama dia. Kalau sudah kenalan selanjutnya saya serahkan semuanya sama sampeyan”. Dayang Sumbi mengangguk
“Oke, kira-kira kapan kami bisa ketemu?”. Dayang Sumbi sepertinya tidak sabar atau penasaran. Dewi Sri lalu melihat agendanya.
“Mungkin minggu depan. Selama seminggu sampeyan bisa siapkan segala sesuatunya. Inget, jangan sampai malu-maluin”. Dayang Sumbi mengangguk senang, wajahnya langsung sumringah.
“Terima kasih Dewi. Oh ya, ngomong-ngomong namanya itu siapa?”.
“Bandung Bondowoso”. Dewi Sri menyebutkan sebuah nama.

Third Story : Lanjutan Dongeng Nglindur

Malin Kundang melanjutkan perjalanannya. Entah sudah berapa jauh dirinya berjalan. Meninggalkan Solok Kampungnya di Sumatra Barat sana. Sepertinya dia agak sedikit nyasar. Berulangkali dirinya membuka peta Indonesia yang dibelinya di Pelabuhan Bakaheuni. Rupanya dia ditipu. Memang peta itu harganya murah, tapi rupanya peta itu peta buta. Kasian deh lo, mau ngirit malah rugi. Malin memutuskan istirahat sejenak. Sekelilingnya memang hutan lebat, pohonnya tinggi-tinggi. Malin berdoa, mudah-mudahan dirinya bertemu Tarzan. Kan lumayan kalau ketemu. Bisa nanya-nanya jalan atau arah. Syukur-syukur bisa nunjukin hotel atau penginapan terdekat. Padahal Tarzan lagi show Kethoprak Humor di TVRI. Malin mencari tanah yang agak lapang buat mendirikan tenda. Tiba-tiba dirinya dikagetkan oleh sesosok tubuh yang teronggok kaku di atas tanah. Astaqfirullah, ada mayat. Malin Kundang langsung gemetar. Sial, mau istirahat malah ketemu mayat. Malin Kundang memperhatikan tubuh yang tergeletak menelungkup itu. Sepertinya mayat sesosok laki-laki. Mungkin habis dirampok. Berarti di sekitar sini ada rampok. Hiiii....., Malin Kundang langsung cemas. Tubuh itu sepertinya masih segar. Belum ada tanda-tanda membusuk. Mungkin mayat masih baru. Malin Kundang yang penasaran mengambil sebatang kayu, lalu coba menusuk-nusukkan batang kayu itu ke tubuh yang tergeletak itu.
“Heh.... “. Baru beberapa kali tusukan tubuh itu bersuara.
“Onde mandeh...”, Malin Kundang terkejut dan melompat mundur.
“Kakak masih hidup?”. Tanya Malin Kundang.
“Masih bego....”, tubuh itu membentak galak.
“Kenapa kakak bisa sampai begini?”.
“Tadinya sih pingsan, tapi begitu sadar rasanya mau bangun males. Akhirnya langsung lanjut tidur siang aja sekalian”. Malin Kundang cuma garuk-garuk kepala mendengarnya.
Malin Kundang lalu memutuskan untuk bermalam di situ. Lumayan jadi ada teman untuk bermalam. Saat Malin Kundang mengeluarkan rendang yang sengaja dibawanya untuk bekal, pemuda yang tergeletak menelungkup itu langsung bangun.
“Weh, ada makanan. Boleh minta sedikit?”, tanpa malu-malu orang itu meminta.
Malin dengan senang hati memberikan bekalnya. Kebetulan masih ada nasi dan enam potong rendang. Untuk lalapannya tinggal memetik daun-daun yang ada di sekitar situ. Baru menggigit sepotong pemuda itu langsung megap-megap.
“Air!!! ....air!!! .....”, Orang itu berteriak bagaikan kesurupan,
Malin cepat-cepat mengeluarkan botol air dari tas kempingnya, langsung disambar oleh orang itu.
“Buset ! Masakan apa ini? Pedasnya sampai bikin mau hampir mati”. Orang itu mendelik ke arah Malin Kundang.
“Ini rendang Kakak. Masakan daerah saya, di tempat saya yang seperti begini biasa”.
“Orang-orang daerah kamu lidahnya dari batu ya? Mana ada orang tahan makanan kayak begini? Ini baru dimasak saja, orang nyium baunya saja sudah mencret”.
Malin Kundang cuma nyengir.
“Itu memang ciri khasnya Kakak. Kalau memang tidak doyan juga tidak apa-apa”. Pemuda itu malah memungut daging rendang yang tadi sempat jatuh di tanah.
“Apa boleh buat, laper juga. Belum 5 menit...”. Malin Kundang tersenyum melihatnya. Mereka berdua lalu makan dengan lahap. Sehabis makan keringat deras membanjir membasahi tubuh mereka berdua.
“Hoik... Wah ternyata lama-lama enak juga”. Pemuda itu berkomentar, roman mukanya menunjukkan rasa puas.
“Itulah sensasinya Kakak. Kata Mamak di kampung, makan pedas itu simbol kehidupan. Berjuang keras di awal dan merasa puas di akhir”. Malin menjawab ramah.
“Aku baru dengar peribahasa itu. Maklum, waktu sekolah dulu nilai Bahasa Indonesiaku kurang. Rupanya ada juga peribahasa begitu ”.
“Ah kakak ini. Peribahasa itu juga cuma karangan Mamak aku saja kok”. Malin Kundang tertawa.
“Oh ya ngomong-ngomong nama Kakak siapa”. Pemuda itu malah bingung ditanya begitu.
“Aneh, kok aku nggak inget ya? Namaku siapa?”. Malin Kundang cuma terbengong mendengarnya. Pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya.
“Aduh!... “ Pemuda itu memekik pelan. Rupanya garukannya mengenai sebuah luka yang masih mengeluarkan darah di kepalanya.
“Kakak luka?”. Tanya Malin. Pemuda itu mengangguk, wajahnya masih heran. Sepertinya juga tidak tahu asal-usul luka itu. Malin mengeluarkan peralatan P3K dari tas kempingnya. Rupanya bawaan Malin untuk merantau benar-benar komplit. Setelah luka dibersihkan dan diobati, pemuda itu malah nampak semangkin lama semangkin bingung.
“Coba diingat-ingat Kak, masak tidak ingat sama sekali?”. Pemuda itu malah menggeleng.
“Oya, Kakak pasti punya KTP. Coba dilihat saja di KTP”. Malin memberi saran. Pemuda itu langsung menepuk jidatnya.
“Oh iya, kenapa sampai tak kepikiran”. Pemuda itu mengambil dompet dari saku belakang celananya. Foto di KTP itu memang foto dirinya dengan tampang yang sedikit dibuat-buat. Identitasnya tertera di sana.
Nama : Sangkuriang bin Tumang
Alamat : Jalan Sunda No 9, Lembang, Bandung, Jawa Barat
Kewarganegaraan : Republik Mimpi
Status : Belum menikah dan sudah dua tahun Jomblo
“Oh iya, aku inget... Namaku Sangkuriang “, pemuda itu langsung girang.
“Ooooo.... Sangkuriang. Panggilannya apa Kakak?”.
“Panggil Sangku saja. Kayaknya keren deh. Oh ya nama kamu siapa anak muda?”. Sangkuriang menjulurkan tangannya.
“Nama saya Malin Kundang, panggil saja Malin. Senang berkenalan dengan Kakak”.

Second Story : Dongeng Sebelum Nglindur

Malin Kundang mengendap-ngendap di antara pepohonan hutan. Langkahnya mendekat ke arah tempat suara riuh rendah gadis-gadis itu berasal. Hari itu cuaca cerah dan sedikit berawan, bukan perawan. Tumbennya tidak satupun hewan yang nampak di hutan itu, apalagi anggota dewan. Lagian ngapain anggota dewan di tengah hutan? Di ruang sidang aja jarang hadir, apalagi di tengah hutan? Malin Kundang memanjat pohon yang dipilihnya. Yang menurutnya agak representatif untuk mengintip ke tengah telaga. Ternyata benar, tujuh bidadari sedang mandi dan bermain air di tengah telaga. Bodynya jangan ditanya lagi bagaimana, semlohai nan aduhai. Membuat jakun Malin Kundang naik turun. Alhamdulilah, ujarnya dalam hati. Malin Kundang coba memperbaiki posisinya. Sayangnya kakinya malah menginjak kotoran tupai yang kebetulan menempel di batang pohon. Malin Kundang langsung terpleset. Terjungkal dengan gaya akrobatik yang buruk. Seperti kata pepatah sudah jatuh tertimpa batang pohon, terpleset kotoran tupai pula. Suara krosak dan gedebum membuat tujuh bidadari terkejut. Mereka buru-buru mengambil selendang untuk menutupi bagian yang perlu ditutupi. Bidadari selendang ungu langsung berteriak ke arah Malin Kundang.
“Hei Malin Kudang, sedang apa di situ? Harusnya kan Jaka Tarub yang ada di situ?”. Malin Kundang dengan agak malu-malu keluar menunjukkan batang hidung dan batang pohon yang menimpanya tadi.
“Maaf Kakak. Biasa. Salah setting”. Setelah meminta maaf Malin Kundang kemudian berlalu dari situ. Agak tengsin juga dia. Di tengah jalan Malin Kundang malah bertemu Jaka Tarub.
“Hei Bung, cewek-ceweknya masih disana?” Tanpa basa-basi Bung Jaka langsung menyongsongnya dengan pertanyaan.
“Masih kakak... “, Jawab Malin.
“Tadi ngintipnya dari sebelah mana?”. Bung Jaka sepertinya sudah tidak sabar.
“Dari sebelah sana Kakak, aman kok... “. Malin menunjuk tempat dia mengintip tadi.
“Waseeek. Thanks Bung.... “.
“Eh, tapi jangan ngintip di atas pohon Kakak”. Malin Kundang memberi saran.
“Lho, memang kenapa Bung?”. Jaka Tarub malah heran.
“Banyak kotoran tupai”, Jawab Malin pendek.
Jaka Tarub cuma bengong.

First Story : Wisuda


WISUDA

Setengah jam menunggu. Rombongan wisuda ahkirnya keluar dari dalam gedung. Kucari dia diantara kerumunan oang-orang berbaju toga. Ada sedikit perasaan gugup saat melihatnya keluar bersama kedua orang tuanya. Kuyakinkan diriku sekali lagi. Hanya ini kesempatanku untuk bisa menyampaikan apa yang ingin kuutarakan. Mungkin besok tidak akan ada moment seperti ini lagi. Kurapikan jasku. Kupencet tombol handphone, kucoba hubungi telepon seluluernya. Berharap dia mengaktifkannya begitu keluar dari gedung. Dering itu aku yakin sebenarnya hanya sebentar, namun rasanya begitu lama terngiang dalam benakku. Suaranya terdengar. Aku melihatnya, namun dirinya tidak melihatku.
“Kamu dimana? Katanya mau dateng?”, Suaranya begitu khas. Cempreng, tanpa kesan lembut layaknya suara wanita
“Aku udah dateng, aku di depan dekat orang jual bunga. Aku liat kamu kok”.
“Ya udah ke sini gih,”.Aku sudah hapal kebiasaannya, manjanya yang kadang membuatku gemas. Meskipun aku tahu dia juga telah melihatku, namun dia tetap meminta aku yang datang menghampirinya. Kuhampiri dia. Sejenak aku juga melihat gerakannya meminta ijin sebentar kepada bapak dan ibunya. Kami berdua bertemu. Selama ini hubunganku dengannya sebenarnya tidak bisa dipastikan. Aku mengenalnya sejak lama. Dirinya pun demikian. Bahkan aku sudah lupa bagaimana awalnya kami bertemu. Aku tidak begitu dekat dengannya. Seperti teman biasa saja. Akrab hanya di tempat kami bersekolah. Mulai SMP, SMA, sampai kuliah entah kenapa dia selalu ada di setiap bagian hidupku. Kami tidak pernah berjanji untuk bersekolah di tempat yang sama. Semua mengalir begitu saja. Dirinya selalu ada. Tidak sengaja pula kami memilih kuliah di universitas yang sama dan pada jurusan yang sama pula. Suatu kali pernah tanpa sengaja berduaan. Aku cuma ingat hari itu hari Khamis. Pada hari sebelum aku ujian pendadaran. Dirinya memanggil namaku, Aku bisa lihat gerakan bibirnya mengucapkan AKU SUKA KAMU. Aku cuma terdiam, mengeryitkan kening. Sesaat kemudian tidak menggubrisnya. Kupikir hanya bercanda. Apalagi dalam hatiku saat itu ada wanita lain. Setelah hari itu tidak ada lagi yang kupikirkan dari dia. Aku pacaran dengan adik kelasku. Dia pun mengetahuinya. Hubungan kami tetap berjalan biasa layaknya teman seperti sebelumnya. Aku lulus, dia masih melanjutkan kuliahnya. Akhirnya selama beberapa saat hubunganku dengannya seperti ada jeda. Aku tidak memikirkannya, dan aku rasa dirinya juga demikian. Waktu berlalu, ahkirnya setelah 6 bulan menunggu aku di terima kerja. Pacarku memutuskan hubungan secara sepihak. Aku tahu pacarku menemukan pria yang lebih baik dari aku. Kutelan pil pahit itu bulat-bulat. Suatu hari ada teman yang ingin kuhubungi, sayangnya nomor teleponnya berubah. Kuhubungi dia untuk menanyakan nomor telepon temanku yang berubah itu. Setelah itu aku malah jadi sering menghubunginya. Malah beberapa kali kami sempat bertemu. Dirinya kembali ada dalam satu lagi bagian kehidupanku, dirinya kini ada bukan hanya ketika aku masih bersekolah. Dirinya kini juga ada ketika aku sudah berkerja dan punya penghasilan sendiri. Perlahan-lahan kehadirannya mulai mempunya makna di hatiku. Justru pada saat terakhir dia hendak menyelesaikan masa kuliahnya dan mendapatkan beasiswa untuk woman study di australia. Hari itu hari wisudanya. Besok dia sudah harus berangkat ke australia. Ada sedikit kecewa menggurat dihatiku, saat sadar pada saat itu untuk pertama kalinya aku mulai menyukai dirinya dan ingin mencintainya. Terlalu naif bila seketika pada saat itu aku menyatakan perasaan ku padanya. Aku yakin dirinya telah mengubur perasaannya sendiri dalam-dalam kepada diriku, karena pernah merasa kutolak dan tak kuperdulikan. Pada hari wisudanya itu kubawakan setangkai bunga untuk dirinya. Sejak aku diputuskan pacarku, selama itu aku seperti termakan karma. Sempat ada hasrat hatiku ingin menjalin hubungan dengannya kemarin , namun karena sibuknya perkerjaanku hasrat itu teralihkan. Entah kenapa dirinya juga agak sulit dihubungi, dan sedikit cuek padaku. Kini dirinya berdiri dihadapanku, memakai toga dengan make up yang tebal, rambutnya disanggul. Tubuhnya yang pendek tenggelam dalam jubah toga yang dikenakannya.
“Makasih ya udah nyempetin dateng, kemaren katanya ditelepon mau sekalian ngomongin sesuatu. Mau ngomongin apa?”.
Dia memang orangnya kurang bisa basa-basi. Pertanyaan langsungnya malah membuatku tidak bisa mengatakan apa-apa. Aku hanya mengangsurkan bunga mawar yang sudah semenjak tadi kupegang.
“Selamat ya, akhirnya lulus”. Aku berusaha tersenyum.
“Makasih....”. Dirinya sesaat tertegun. Bunga mawar itu diterimanya sambil terus memandangiku.
“Aku yang seharusnya terima kasih Ca, kamu selama ini selalu ada di setiap bagian hidupku. Mulai dari SMP, SMA, Kuliah, sampai aku kerja. Aku baru sadar kalo ternyata kamu yang selalu hadir mulai dari aku belum jadi apa-apa sampai skarang. Ini bunga bisa jadi tanda apa aja, bisa buat tanda terima kasihku atau buat tanda perpisahan, atau sebagai tanda persaaanku sama kamu, setelah ini sekali lagi harus aku serahkan semuanya sama takdir. Kalau memang kamu hadir sekali lagi, mungkin sekalian aja kamu jadi pendampngku. Itu juga kalo kamu mau”.
Belalak matanya seakan tak percaya, kemudian kulihat rona itu. Ada rona semu merah di pipinya. Kami terdiam. Aku tidak perduli apa yang mungkin bakal dikatakannya. Aku memeluk kepalanya kemudian mencium keningnya. Hal yang belum pernah kulakukan sebelumnya terhadapnya. Jawaban tak kunjung terdengar dari dirinya. Aku hanya merasakan tangannya melingkar memeluk pinggangku. Semakin kudekap kepalanya di dadaku, tidak perduli topi toganya jatuh ke samping. Entah kenapa aku tidak ingin melepasnya, seandainya aku bisa. Entah pada saat itu hatiku telah aku genggam atau malah dirinya yang telah menggengam hatiku.