Malin Kundang melanjutkan perjalanannya. Entah sudah berapa jauh dirinya berjalan. Meninggalkan Solok Kampungnya di Sumatra Barat sana. Sepertinya dia agak sedikit nyasar. Berulangkali dirinya membuka peta Indonesia yang dibelinya di Pelabuhan Bakaheuni. Rupanya dia ditipu. Memang peta itu harganya murah, tapi rupanya peta itu peta buta. Kasian deh lo, mau ngirit malah rugi. Malin memutuskan istirahat sejenak. Sekelilingnya memang hutan lebat, pohonnya tinggi-tinggi. Malin berdoa, mudah-mudahan dirinya bertemu Tarzan. Kan lumayan kalau ketemu. Bisa nanya-nanya jalan atau arah. Syukur-syukur bisa nunjukin hotel atau penginapan terdekat. Padahal Tarzan lagi show Kethoprak Humor di TVRI. Malin mencari tanah yang agak lapang buat mendirikan tenda. Tiba-tiba dirinya dikagetkan oleh sesosok tubuh yang teronggok kaku di atas tanah. Astaqfirullah, ada mayat. Malin Kundang langsung gemetar. Sial, mau istirahat malah ketemu mayat. Malin Kundang memperhatikan tubuh yang tergeletak menelungkup itu. Sepertinya mayat sesosok laki-laki. Mungkin habis dirampok. Berarti di sekitar sini ada rampok. Hiiii....., Malin Kundang langsung cemas. Tubuh itu sepertinya masih segar. Belum ada tanda-tanda membusuk. Mungkin mayat masih baru. Malin Kundang yang penasaran mengambil sebatang kayu, lalu coba menusuk-nusukkan batang kayu itu ke tubuh yang tergeletak itu.
“Heh.... “. Baru beberapa kali tusukan tubuh itu bersuara.
“Onde mandeh...”, Malin Kundang terkejut dan melompat mundur.
“Kakak masih hidup?”. Tanya Malin Kundang.
“Masih bego....”, tubuh itu membentak galak.
“Kenapa kakak bisa sampai begini?”.
“Tadinya sih pingsan, tapi begitu sadar rasanya mau bangun males. Akhirnya langsung lanjut tidur siang aja sekalian”. Malin Kundang cuma garuk-garuk kepala mendengarnya.
Malin Kundang lalu memutuskan untuk bermalam di situ. Lumayan jadi ada teman untuk bermalam. Saat Malin Kundang mengeluarkan rendang yang sengaja dibawanya untuk bekal, pemuda yang tergeletak menelungkup itu langsung bangun.
“Weh, ada makanan. Boleh minta sedikit?”, tanpa malu-malu orang itu meminta.
Malin dengan senang hati memberikan bekalnya. Kebetulan masih ada nasi dan enam potong rendang. Untuk lalapannya tinggal memetik daun-daun yang ada di sekitar situ. Baru menggigit sepotong pemuda itu langsung megap-megap.
“Air!!! ....air!!! .....”, Orang itu berteriak bagaikan kesurupan,
Malin cepat-cepat mengeluarkan botol air dari tas kempingnya, langsung disambar oleh orang itu.
“Buset ! Masakan apa ini? Pedasnya sampai bikin mau hampir mati”. Orang itu mendelik ke arah Malin Kundang.
“Ini rendang Kakak. Masakan daerah saya, di tempat saya yang seperti begini biasa”.
“Orang-orang daerah kamu lidahnya dari batu ya? Mana ada orang tahan makanan kayak begini? Ini baru dimasak saja, orang nyium baunya saja sudah mencret”.
Malin Kundang cuma nyengir.
“Itu memang ciri khasnya Kakak. Kalau memang tidak doyan juga tidak apa-apa”. Pemuda itu malah memungut daging rendang yang tadi sempat jatuh di tanah.
“Apa boleh buat, laper juga. Belum 5 menit...”. Malin Kundang tersenyum melihatnya. Mereka berdua lalu makan dengan lahap. Sehabis makan keringat deras membanjir membasahi tubuh mereka berdua.
“Hoik... Wah ternyata lama-lama enak juga”. Pemuda itu berkomentar, roman mukanya menunjukkan rasa puas.
“Itulah sensasinya Kakak. Kata Mamak di kampung, makan pedas itu simbol kehidupan. Berjuang keras di awal dan merasa puas di akhir”. Malin menjawab ramah.
“Aku baru dengar peribahasa itu. Maklum, waktu sekolah dulu nilai Bahasa Indonesiaku kurang. Rupanya ada juga peribahasa begitu ”.
“Ah kakak ini. Peribahasa itu juga cuma karangan Mamak aku saja kok”. Malin Kundang tertawa.
“Oh ya ngomong-ngomong nama Kakak siapa”. Pemuda itu malah bingung ditanya begitu.
“Aneh, kok aku nggak inget ya? Namaku siapa?”. Malin Kundang cuma terbengong mendengarnya. Pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya.
“Aduh!... “ Pemuda itu memekik pelan. Rupanya garukannya mengenai sebuah luka yang masih mengeluarkan darah di kepalanya.
“Kakak luka?”. Tanya Malin. Pemuda itu mengangguk, wajahnya masih heran. Sepertinya juga tidak tahu asal-usul luka itu. Malin mengeluarkan peralatan P3K dari tas kempingnya. Rupanya bawaan Malin untuk merantau benar-benar komplit. Setelah luka dibersihkan dan diobati, pemuda itu malah nampak semangkin lama semangkin bingung.
“Coba diingat-ingat Kak, masak tidak ingat sama sekali?”. Pemuda itu malah menggeleng.
“Oya, Kakak pasti punya KTP. Coba dilihat saja di KTP”. Malin memberi saran. Pemuda itu langsung menepuk jidatnya.
“Oh iya, kenapa sampai tak kepikiran”. Pemuda itu mengambil dompet dari saku belakang celananya. Foto di KTP itu memang foto dirinya dengan tampang yang sedikit dibuat-buat. Identitasnya tertera di sana.
Nama : Sangkuriang bin Tumang
Alamat : Jalan Sunda No 9, Lembang, Bandung, Jawa Barat
Kewarganegaraan : Republik Mimpi
Status : Belum menikah dan sudah dua tahun Jomblo
“Oh iya, aku inget... Namaku Sangkuriang “, pemuda itu langsung girang.
“Ooooo.... Sangkuriang. Panggilannya apa Kakak?”.
“Panggil Sangku saja. Kayaknya keren deh. Oh ya nama kamu siapa anak muda?”. Sangkuriang menjulurkan tangannya.
“Nama saya Malin Kundang, panggil saja Malin. Senang berkenalan dengan Kakak”.
Rabu, 11 Juni 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
pegel, ceritanya panjang bgt ampe nahan ke kmr mandi. klo di baca SWD bakal kena UUD EYD SWD ne,ha..ha...
Posting Komentar