WISUDA
Setengah jam menunggu. Rombongan wisuda ahkirnya keluar dari dalam gedung. Kucari dia diantara kerumunan oang-orang berbaju toga. Ada sedikit perasaan gugup saat melihatnya keluar bersama kedua orang tuanya. Kuyakinkan diriku sekali lagi. Hanya ini kesempatanku untuk bisa menyampaikan apa yang ingin kuutarakan. Mungkin besok tidak akan ada moment seperti ini lagi. Kurapikan jasku. Kupencet tombol handphone, kucoba hubungi telepon seluluernya. Berharap dia mengaktifkannya begitu keluar dari gedung. Dering itu aku yakin sebenarnya hanya sebentar, namun rasanya begitu lama terngiang dalam benakku. Suaranya terdengar. Aku melihatnya, namun dirinya tidak melihatku.
“Kamu dimana? Katanya mau dateng?”, Suaranya begitu khas. Cempreng, tanpa kesan lembut layaknya suara wanita
“Aku udah dateng, aku di depan dekat orang jual bunga. Aku liat kamu kok”.
“Ya udah ke sini gih,”.Aku sudah hapal kebiasaannya, manjanya yang kadang membuatku gemas. Meskipun aku tahu dia juga telah melihatku, namun dia tetap meminta aku yang datang menghampirinya. Kuhampiri dia. Sejenak aku juga melihat gerakannya meminta ijin sebentar kepada bapak dan ibunya. Kami berdua bertemu. Selama ini hubunganku dengannya sebenarnya tidak bisa dipastikan. Aku mengenalnya sejak lama. Dirinya pun demikian. Bahkan aku sudah lupa bagaimana awalnya kami bertemu. Aku tidak begitu dekat dengannya. Seperti teman biasa saja. Akrab hanya di tempat kami bersekolah. Mulai SMP, SMA, sampai kuliah entah kenapa dia selalu ada di setiap bagian hidupku. Kami tidak pernah berjanji untuk bersekolah di tempat yang sama. Semua mengalir begitu saja. Dirinya selalu ada. Tidak sengaja pula kami memilih kuliah di universitas yang sama dan pada jurusan yang sama pula. Suatu kali pernah tanpa sengaja berduaan. Aku cuma ingat hari itu hari Khamis. Pada hari sebelum aku ujian pendadaran. Dirinya memanggil namaku, Aku bisa lihat gerakan bibirnya mengucapkan AKU SUKA KAMU. Aku cuma terdiam, mengeryitkan kening. Sesaat kemudian tidak menggubrisnya. Kupikir hanya bercanda. Apalagi dalam hatiku saat itu ada wanita lain. Setelah hari itu tidak ada lagi yang kupikirkan dari dia. Aku pacaran dengan adik kelasku. Dia pun mengetahuinya. Hubungan kami tetap berjalan biasa layaknya teman seperti sebelumnya. Aku lulus, dia masih melanjutkan kuliahnya. Akhirnya selama beberapa saat hubunganku dengannya seperti ada jeda. Aku tidak memikirkannya, dan aku rasa dirinya juga demikian. Waktu berlalu, ahkirnya setelah 6 bulan menunggu aku di terima kerja. Pacarku memutuskan hubungan secara sepihak. Aku tahu pacarku menemukan pria yang lebih baik dari aku. Kutelan pil pahit itu bulat-bulat. Suatu hari ada teman yang ingin kuhubungi, sayangnya nomor teleponnya berubah. Kuhubungi dia untuk menanyakan nomor telepon temanku yang berubah itu. Setelah itu aku malah jadi sering menghubunginya. Malah beberapa kali kami sempat bertemu. Dirinya kembali ada dalam satu lagi bagian kehidupanku, dirinya kini ada bukan hanya ketika aku masih bersekolah. Dirinya kini juga ada ketika aku sudah berkerja dan punya penghasilan sendiri. Perlahan-lahan kehadirannya mulai mempunya makna di hatiku. Justru pada saat terakhir dia hendak menyelesaikan masa kuliahnya dan mendapatkan beasiswa untuk woman study di australia. Hari itu hari wisudanya. Besok dia sudah harus berangkat ke australia. Ada sedikit kecewa menggurat dihatiku, saat sadar pada saat itu untuk pertama kalinya aku mulai menyukai dirinya dan ingin mencintainya. Terlalu naif bila seketika pada saat itu aku menyatakan perasaan ku padanya. Aku yakin dirinya telah mengubur perasaannya sendiri dalam-dalam kepada diriku, karena pernah merasa kutolak dan tak kuperdulikan. Pada hari wisudanya itu kubawakan setangkai bunga untuk dirinya. Sejak aku diputuskan pacarku, selama itu aku seperti termakan karma. Sempat ada hasrat hatiku ingin menjalin hubungan dengannya kemarin , namun karena sibuknya perkerjaanku hasrat itu teralihkan. Entah kenapa dirinya juga agak sulit dihubungi, dan sedikit cuek padaku. Kini dirinya berdiri dihadapanku, memakai toga dengan make up yang tebal, rambutnya disanggul. Tubuhnya yang pendek tenggelam dalam jubah toga yang dikenakannya.
“Makasih ya udah nyempetin dateng, kemaren katanya ditelepon mau sekalian ngomongin sesuatu. Mau ngomongin apa?”.
Dia memang orangnya kurang bisa basa-basi. Pertanyaan langsungnya malah membuatku tidak bisa mengatakan apa-apa. Aku hanya mengangsurkan bunga mawar yang sudah semenjak tadi kupegang.
“Selamat ya, akhirnya lulus”. Aku berusaha tersenyum.
“Makasih....”. Dirinya sesaat tertegun. Bunga mawar itu diterimanya sambil terus memandangiku.
“Aku yang seharusnya terima kasih Ca, kamu selama ini selalu ada di setiap bagian hidupku. Mulai dari SMP, SMA, Kuliah, sampai aku kerja. Aku baru sadar kalo ternyata kamu yang selalu hadir mulai dari aku belum jadi apa-apa sampai skarang. Ini bunga bisa jadi tanda apa aja, bisa buat tanda terima kasihku atau buat tanda perpisahan, atau sebagai tanda persaaanku sama kamu, setelah ini sekali lagi harus aku serahkan semuanya sama takdir. Kalau memang kamu hadir sekali lagi, mungkin sekalian aja kamu jadi pendampngku. Itu juga kalo kamu mau”.
Belalak matanya seakan tak percaya, kemudian kulihat rona itu. Ada rona semu merah di pipinya. Kami terdiam. Aku tidak perduli apa yang mungkin bakal dikatakannya. Aku memeluk kepalanya kemudian mencium keningnya. Hal yang belum pernah kulakukan sebelumnya terhadapnya. Jawaban tak kunjung terdengar dari dirinya. Aku hanya merasakan tangannya melingkar memeluk pinggangku. Semakin kudekap kepalanya di dadaku, tidak perduli topi toganya jatuh ke samping. Entah kenapa aku tidak ingin melepasnya, seandainya aku bisa. Entah pada saat itu hatiku telah aku genggam atau malah dirinya yang telah menggengam hatiku.
1 komentar:
Wah...gambarnya rada menjurus porno grafi tu...ntar kena uu anti pornografi dan pornoaksi...pasal berapa mas????au...gw bukan anak hukum....emang tu cewe dah ganti kelamin?????
Posting Komentar