Semua peserta Makrab diperintahkan agar tidak melanjutkan tidur malam itu. Keadaan masih agak tegang, tapi rupanya rasa kantuk yang Aku dan rekan-rekanku alami lebih dominan. Rena juga Ella tampak tertidur di pangkuan Noel. Noel sendiri sudah tidur pulas sambil terduduk dari tadi. Aji, Farid, Malvin sudah tak terdengar lagi suaranya. Mereka meringkuk di belakang. Cuma Aku dan Nina yang masih bangun. Kepala Nina terasa berat, sudah 2 menit yang lalu tersandar di bahuku. Edwin masih bersama Ike di ruang P3K, sibuk memperhatikan Echa. Napasku keluar bagai asap putih. Dinginnya angin gunung membuat rongga hidung terasa perih saat menarik nafas.
“Kamu lebih baik tidur Nin, kayaknya kamu ngantuk berat deh”.
“Aku takut Nung, takut nanti ada apa-apa kalau aku tidur......”, Nina mendesah.
“Nggak ada apa-apa Nin, aku jagain kamu kok. Percaya deh”.
Nina tersenyum, kemudian membaringkan kepalanya di pangkuanku. Mata Nina masih terbuka. Sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
“Kira-kira walau terpisah begini, hubunganku sama cowokku bisa tetap jalan tak ya?”. Tiba-tiba Nina bertanya.
“Waktu dulu sebelum pisah komitmennya kalian gimana?”. Nina terdiam sebentar.
“Tak ada komitmen apa-apa. Aku rasa memang berat pacaran jarak jauh. Dulu sebelum pisah kita janji sesering mungkin kirim-kirim kabar. Waktu pertama kali aku di sini memang dia sering hubungi aku. Telpon, SMS, E-mail, tapi terus lama-lama makin jarang. Seperti malam ini, dia sama sekali tak hubungi aku. Entah lagi ngapain dia di sana”.
“Jalani apa adanya Nin. Saat kamu berani pacaran, berarti kamu juga harus siap putus sewaktu-waktu. Siap segala resikonya. Apalagi kondisi jarak jauh begini”.
“Kamu sendiri Nung? Perasaanmu ke Ike, apa masih mau terus?”.
“Aku lagi nunggu kesempatan Nin. Mudah-mudahan kesempatan itu ada”. Aku menjawab setengah melamun.
“Kalau tidak datang-datang?”. Tantang Nina lagi.
“Ya harus ditunggu”.
“Itu namanya sama saja menunda-nunda perasaan Nung”.
“Aku bukan menunda, cuma menunggu saat yang tepat”.
“Sama saja. Lebih baik coba ubah itu Nung. Perasaan jangan ditunda-tunda. Nanti rugi. Cowok yang suka menunda-nunda perasaan itu cowok pengecut”. Perkataan Nina lugas apa adanya. Mungkin benar yang Nina katakan, yang selalu ku butuhkan memang hanya soal keberanian. Keberanian mengungkapkan perasaan.
Beberapa saat kemudian Aku dan Nina kehabisan obrolan. Suara jangkrik terdengar sayup. Bulan sabit menggantung di gelap mega. Malam sepi dan sunyi. Ada lolongan anjing di kejauhan. Nina akhirnya menyerah. Dia tertidur. Semua tertidur kecuali Aku. Tanpa disangka tak lama kemudian Ike datang membawa dua cangkir kopi.
“Nih buat kamu Nung”, Ike menyodorkan cangkir kopi itu.
“Thank you”, Kopi itu masih sangat panas, Aku harus meniupnya beberapa kali sebelum seruputan pertama.
“Edwin mana Ke?”, Iseng aku bertanya, berharap saat itu Edwin ada di tempat yang jauuuu....h sekali. Kalau perlu sibuk sampai pagi. Kesempatan berdua seperti ini sudah lama Aku tunggu, bahkan sejak hari pertama Makrab kemarin. Kalau ada yang berani mengganggu, rasanya layak untuk dilempar gelas kopi.
“Edwin masih nungguin Echa di P3K. Echa dari tadi nangis terus, ngga sampe hati lihatnya. Dia benar-benar shock. Ketakutan sampai badannya dingin semua. Dia baru pertama kali ini kesurupan”.
“Kasihan juga Si Echa, Aku juga baru kali ini lihat yang namanya kesurupan massal. Tapi kok kamunya malah ke sini? bukannya ikut nemenin di P3K? Lagian di luar kan dingin?”, Aku meninggikan resleting jaketku. Badanku menggigil, dan gigiku gemeretak.
“Males di P3K, lagian tu di sana ada Tommy”..
“Lho? Kok malas gara-gara ada Tommy?”.
“Tommy tu kemaren nembak aku lagi buat jadi pacarnya, Ih berani-beraninya. Jelaslah aku tolak. Tapi dasar dianya tetep maksa, Aku jadi benci sama dia. Aku tu ngga suka dipaksa begitu. Jadi tiap ketemu dia bawaannya udah males duluan. takut kalo nanti dia malah nekat nembak aku lagi buat yang kesekian kalinya. Ih, makin dia nekat aku malah makin benci. Jadi cowok kok ngga punya malu gitu lho. Harusnya tu kan dia jadi cowok bisa lebih fair? Kalo ditolak ya harus bisa terima dong. Jangan maksa melulu”, Ike lalu menyeruput kopinya.
“Mungkin perasaan Tommy ke kamu lumayan dalam. Lagian dia pasti cemburu gara-gara selama makrab ini kamu dekat-dekat Edwin terus. Mungkin Tommy belum bisa terima kenyataannya, kalau kamu cuma anggap dia teman biasa selama ini”.
“Ah....Tommy tu memang orangnya gitu Nung, suka ngotot, suka maksa, agak keras kepala. Capek deh.... Kalo dia cemburu, itu urusan dia, dia juga bukan siapa-siapa aku kok. Lagian aku deket Edwin itu kan gara-gara aku jadi wakil ketua kelompok ini”. Biar bisa dibilang kurang tidur, gaya bicara Ike tetap cepat. Lincah seperti biasanya
“Ah masa?....”, Aku iseng menggoda.
Ike merenung sejenak, ”Aku ngga tahu juga sih sebenarnya ya Nung, kadang aku juga terhanyut sama perasaanku. Edwin selain secara fisik menarik, dia tu juga keliatannya bisa buat aku nyaman banget. Kadang dia juga bisa bikin aku seneng. Walau kadang-kadang juga, aku ngerasa dia orangnya agak cuek”.
Aku jadi ragu mengakui perasaanku begitu mendengarnya. Kalau memang perasaan Ike sekarang ke Edwin, kecil kemungkinan Aku diterima. Aku jadi kurang percaya diri. Aku memilih memendam perasaan ini dulu. Rasanya juga timingnya kurang tepat. Pandangan Ike tertuju ke arah Nina yang tidur dipangkuan Nung.
“Nina tu kalo lagi kayak gini imut juga ya”, Ike memandangi Nina lekat-lekat.
“Sebenernya aku sempet kurang suka sama Nina waktu pertama kali”. Ike tiba-tiba mengaku.
“Kenapa?”.
“Pertama, mungkin karena aku ngerasa pertama kali liat dia kok kayaknya anaknya kecentilan banget gitu ya. Apalagi pas aku mergokin dia kemaren ngobrol sama Edwin. Ih, ganjen banget gitu lho. Trus yang kedua, aku tu ngerasa kok kayaknya Nina selalu pengen lebih dominan dari aku”.
Ike lalu melanjutkan omongannya, “Aku tu sebetulnya juga agak iri. Mukaku kalah cantik dibanding dia. Aku suka minder kalo deket dia. Kadang kalo aku sama dia lagi jalan berdua, Nina tu rasanya bisa lebih banyak nyuri perhatian orang”. Penjelasan Ike jelas subyektif pemikirannya
“Itu mungkin bisa jadi karena Nina lebih ramah. Kalau dari segi fisik sebetulnya kalian kurang lebih sama kok”.
“Masa sih Nung? Menurutmu, Aku dibanding Nina mana yang lebih cantik?”.
Aku jadi bingung menjawabnya, ”Aku rasa kamu lebih cantik Ke...”.
“Kok bisa? Alasannya apa?”, Ike mengejar lebih jauh.
Aku benar-benar kebingungan sekarang, ” Eeee... Jujur aku berani bilang kamu lebih cantik karena mungkin aku lihatnya lebih dari sekedar fisik. Bagi aku, kamu secara pribadi lebih menarik”.
“Kamu serius Nung?”.
“Iya aku serius. Kamu baik. Menyenangkan. Lucu. Aku... Aku sebetulnya...”, Tiba-tiba kata-kata itu tidak mampu kuteruskan. Seperti tertahan di dalam. Mulutku mengunci. Suaraku mampet. Padahal Ike tampak menunggu kalimat selanjutnya.
“Kenapa Nung?”, Ike coba membuatku meneruskan kalmat itu. Jujur sebenarnya ingin mengatakannya, tapi saat itu entah kenapa Aku benar-benar tidak mampu. Serasa di ujung lidah, tapi tidak mau keluar. Apa diriku kurang berani?
“Bukan kok Ke, aku cuma mau ngomong kalau aku sebetulnya baru kali ini ketemu cewek yang mungkin secara personality lebih menarik”, kata-kata itu bukan kata-kata yang Aku maksud sebelumnya.
Ike cuma tersenyum menanggapinya. Entah apa yang ada dalam pikirannya waktu itu. Tidak ada yang tahu, apa yang akan terjadi kemudian.
Minggu, 27 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar